http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/
PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI
KUANTITAS DAN KUALITAS HADITS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian
tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali
bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk
dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan
beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan
berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya
hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau
dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya
akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas
hadits saja.
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau
dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita.
Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni
hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi
dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama,
menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke
dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti
diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan
kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan
hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits
ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir
dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan,
mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu
terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai
thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى
اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى
اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang
syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa
hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits,
karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar,
diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits
mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi,
dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi
Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir
sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat
gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10
orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya
sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70
orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan
thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat
merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera.
Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil
istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan
lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api
neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang
sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari
berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda,
tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya
tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua
ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori
dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat,
kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh
generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan
jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal
ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai
hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama
hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh
Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi)
memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar
Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk
mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta
kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas
kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam
Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti
“satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu
sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn
diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan
tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits
mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya
tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz
dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai
pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan
orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits
masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits
shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun
matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada
matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan
bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan
penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim,
dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ
وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad
dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala
Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka
dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami
orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari
golongan Quraisy”.
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz
dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya
“sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang
perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat
terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari
sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua
orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat
dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada
setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh
dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya
dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits
yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi
tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya
sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas
perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir
sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan
penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar
bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para
sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka
sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu
diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan
hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan
kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik
terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi
jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat
dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara
istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
• Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya
bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith
dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada
kejanggalan dan tidak ber’illat”.
• Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith,
tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih
adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3)
perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya
tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal
(الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan
defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat
sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah,
yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ
غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ
الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz
dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut
hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan
(syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya
hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya
seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan,
kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban
dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu
salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan
pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena
telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits
hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi
ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak
diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits
shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya
kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan
penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang
mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam
hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف)
berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan
hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria
hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif
adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi
keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram
dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada
dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim
Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Thariq At- Tahzib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya
lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu).
Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak
terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan
jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan
haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib
(hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya
tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan
(jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk
pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : رُوِيَ
diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu
yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena
berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang
diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat
pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim,
dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail
al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam
Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat
para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah,
targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
• Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits
mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat
hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam
perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
• Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti
hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan
hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits
sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
• Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas
adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits
yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam
fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk
adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits
mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi
dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi
menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul
terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang
shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu
sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan
untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui
pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan
orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.