Jumat, 17 Mei 2013

Perjuangan Hasan al-Banna Dalam Mewujudkan Persatuan Sunni Syiah


As-Syahid Hasan al-Banna (semoga Allah Swt merahmatinya) adalah salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam mendirikan “Lembaga Pendekatan Antar Mazhab Islam” (Dâr at-Taqrîb Baina al-Madzâhib al-Islâmiyah). Ia bersama dengan para tokoh dan ulama termuka lainnya, yang diantaranya ialah:• Ustadz Muhammad Ali Basha.• Syekh Abdul Majid Salim (Syekh Al-Azhar).• Haj Amin Husaini (Mufti Palestina). • Syekh Muhammad Abdul Fattah ‘Anany (anggota” dewan Kibar al-Ulama dan tokoh pengikut mazhab Maliki).
• Syekh Isa Manun (anggota” dewan Kibar al-Ulama dan tokoh mazhab Syafi’i).
• Syekh Mahmoud Syaltut (Syekh Al-Azhar dan salah satu ulama terkemuka mazhab Hanafi).
• Syekh Muhammad Taqi Qommi (salah satu ulama terkemuka mazhab Syi’ah Imamiyah).
• Syekh Abdul Wahhab Khalaf (Salah satu ulama besar konservatif kontemporer)
• Syekh Ali Khafif (Syekh Al-Azhar).
• Syekh Ali bin Ismail Muayad (ulama mazhab Syi’ah Zaidiyah).
• Syekh Muhammad Abdul Lathif Subki ( guru besar Al-Azhar dari mazhab Hanbali).
• Syekh Mohammad Mohammad Madany (seorang ruhaniawan terkemuka).
• Syekh Mohammad Husein Kasyif la-Ghita’ (marja’ taklid kota Najaf Asyraf).
• Sayyid Hibatuddin Syahrustani (ulama dari kota Kadzimain).
• Allamah Abdul Husain Syarafuddin (ulama Syiah terkemuka).
Kehadiran figur Syahid Hasan al-Banna di sisi para ulama dan tokoh terkemuka dunia Islam ini, menggambarkan akan keberanian dan idenya yang cemerlang terutama seputar pendekatan antar mazhab, ide yang sejalan dengan misi dan tujuan ikatan yang dibentuk oleh para tokoh tersebut, dimana dalam pasal kedua anggaran dasar ikatan para ulama ini –sekaitan dengan misi dan tujuan- tercantum beberapa draf berikut:
1. Upaya dalam membangun asas kesatuan dan solidaritas antara pelbagai mazhab Islam, hal ini dapat direalisasikan karena dalam pandangan masing-masing mazhab tidak terdapat perbedaan menyangkut prinsip umum agama Islam yang menjadi batas pemisah antar kaum Muslimin dan pengikut masing-masing mazhab.
2. Publikasi dan penyebaran akidah, hukum dan undang-undang universal Islam dalam berbagai bahasa serta menjelaskan perkara-perkara yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam tatanan praktis.
3. Upaya dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik nasional atau sektarian antara kaum Muslimin dan mengupayakan pendekatan serta solidaritas di antara mereka.
Kendati Imam Hasan al-Banna tidak termaksud ulama al-Azhar, akan tetapi, ia memiliki jiwa revolusioner yang tinggi dan pengaruh yang besar terhadap para ulama lainnya. Besar pengaruh ulama karismatik ini dapat kita saksikan dalam ucapan seorang ulama dan tokoh persatuan seperti Syekh Muhammad Taqi Qommi.
Saat Syekh Taqi Qommi berbicara mengenai Hasan al-Banna, dirinya tampak bersemangat seakan semangat al-Banna telah marasuki jiwanya. Dengan kalimat panjang ia menuliskan:
“Hasan al-Banna bukanlah ulama al-Azhar, ia pun tidak memiliki ikatan khusus dengan para Syekh al-Azhar, akan tetapi, semangat, tekad, pengabdian, cita-cita mulia dan keikhlasan dirinya, telah menjadikannya bagaikan gunung yang kokoh. Dengan kriteria yang agung ini, ia mampu terjun di kalangan muda akademisi dan menebarkan pengaruhnya dalam jiwa mereka. Ia berhasil mencetak generasi yang bertakwa, pejuang, berjiwa bersih, mengenal budaya Islam dan memiliki kesadaran tinggi. Dengan tetap fokus kepada tujuan utama perjuangannya dalam mengembalikan umat Islam kepada kejayaan masa lalu –yang menjadi tujuan hidupnya-, ia senantiasa memikirkan permasalahan persatuan dan pendekatan antar mazhab. Semangatnya ini telah mempengaruhi jiwa kelompok Ikhwanul Muslimin sebuah organisasi besar Islam yang ia dirikan, dan hingga saat ini pun pengaruh ini masih dapat kita saksikan. Terlebih kelompok terdahulu dari mereka yang selalu menjauhi fanatisme mazhab dan menjalin ikatan dengan kelompok Islam lainnya dengan berdasarkan prinsip Islam dan bukan mazhab, serta tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan antara kelompok dan mazhab kaum Muslimin. Kelompok inil, adalah kelompok Ikhwanul Muslimin[1].
DR. Muhammad Ali Adzarshab mengatakan bahwa Syekh Hasan al-Banna pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin sangat mementingkan gerakan taqrib (pendekatan antar mazhab). Adzarshab menuliskan: “Pada hari-hari menjelang didirikannya Lembaga Pendekatan Antar Mazhab, para tokoh lembaga ini di antaranya Ayatullah Muhammad Taqi Qommi –sebagai pendiri lembaga tersebut- sedang memikirkan nama apakah yang layak untuk lembaga tersebut. Apakah dengan mengunakan istilah persatuan, solidaritas atau pun persaudaraan. Pada saat itu, Syekh Hasan al-Banna menyarankan untuk memberi nama taqrib (pendekatan), dengan alasan bahwa nama ini lebih sesuai dengan tujuan-tujuan lembaga tersebut dibanding dengan nama atau istilah lainnya. Akhirnya lembaga ini pun dinamakan dengan nama taqrib sesuai dengan pendapat pejuangan besar ini.
Surat Kabar “Hasan Al-Banna” Media Pendekatan Antar Mazhab
Dalam isi surat kabar yang dirilisnya, tampak Syekh Hasan al-Banna sangat mementingkan permasalahan persatuan antara Sunnah dan Syi’ah. Ia tidak segan-segan -dengan bekerjasama dengan lembaga Darul al-Taqrib- berupaya untuk menyampaikan pesan persatuan kepada para ulama bahkan kepada penguasa kerajaan Saudi saat itu, dimana pada saat itu, berbicara mengenai persatuan Sunnah dan Syiah merupakan perkara yang dilarang di negeri itu. Berkaitan dengan masalah ini, Ayatulah Muhammad Taqi Qommi menuliskan:
Setelah peristiwa eksekusi Sayid Abu Thalib Yazdi di negeri Hijaz (yang saat ini berubah nama menjadi Saudi Arabia), untuk beberapa tahun, pemberangkatan jamaah haji Iran sempat terhenti, meskipun setelah itu mereka kembali diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam upaya meminimalisir kesalahpahaman umat Islam terhadap mazhab Syi’ah, terutama setelah propaganda negatif terhadap Syi’ah paska persitiwa eksekusi Sayyid Yazdi dan pelarangan haji bagi masyarakat muslim Iran, lembaga “Dar at-Taqrib” menerbitkan panduan manasik haji berdasarkan pandangan lima mazhab, yaitu empat mazhab Ahlu Sunnah beserta mazhab Syi’ah Imamiyah.
Buku manasik haji yang diterbitkan ini, secara jelas mengungkapkan banyaknya kesamaan dalam amalan dan manasik haji yang diyakini mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah. Dikarenakan muatannya ini, pemerintah Saudi pun secara tegas melarang masuknya buku ini ke wilayah Saudi. Pada saat inilah, Syekh Hasan al-Banna menemukan solusi agar materi yang dimuat dalam kitab tersebut dapat dibaca oleh kaum Muslimin yang menunaikan Ibadah Haji. Dengan kecerdasannya, ia memuat seluruh materi manasik haji dalam buku itu dalam korannya dan mencetaknya dangan skala besar dan kemudian pada musim haji, ia mengirimnya ke Saudi Arabia dan membagikannya kepada para jamaah haji.
Upaya yang dilakukan Hasan al-Banna ini memiliki pengaruh positif yang luar biasa di kalangan kaum Muslimin [sehingga menjadi salah satu faktor yang mendorong para pejabat Saudi untuk menarik kembali pelarangan haji atas masyarakat muslim Iran]. Pada tahun itu pula, Syekh al-Banna pergi menunaikan ibadah haji dan di tanah suci umat Islam ini, ia mengadakan pertemuan dengan seorang ulama Syi’ah Ayatullah Abu Qasim Kashani, pemimpin Gerakan Nasionalisasi Minyak Iran[2].
Allamah Sayid Hadi Khosrow Shahi mengkonfirmasikan kepada saya (penulis) bahwa sebagian ulama besar Iran memandang statement Syekh Hasan al-Banna dengan penuh pujian. Ia (Allamah Hadi Khosrow) dalam pada tahun 1375 H.Q. menghadiri majlis Ayatullah Sayid Ridha Sadr (salah satu ulama besar Syiah) dan mendengar ceramah beliau seputar peran ibadah haji dalam kehidupan sosial dan persatuan umat Islam. Dalam ceramah ini, beliau mengungkapkan peran besar Hasan al-Banna dalam banyak permasalahan, terutama dalam perjalanan dan statemennya pada musim haji, dalam memperkenalkan masyarakat Muslim Mesir akan ideologi mazhab Syi’ah yang sebenarnya, meredam penyebaran isu-isu anti-syiah dan mengeluarkan pernyataan akan keislaman para pengikut Syi’ah. Pada saat itu, Ayatullah Sadr menekankan kepada para hadirin dan mengatakan: “Kaliah harus mengenal kepribadian Syekh Hasan al-Banna, beliau adalah pahlawan yang pemberani dan pemimpin abadi dunia Islam dari kelompok Ikhwanul Muslimin[3].”
Di saat di dunia Islam sedang tersebar kebencian terhadap mazhab Syi’ah bahkan sedang gencar-gencarnyanya tuduhan kafir dan fasik terhadap para pengikut mazhab Ahlul Bait as ini, Syekh hasan al-Banna berjuang keras melakukan berbagai pendekatan dengan menunjukkan berbagai kesamaan antara akidah Syiah dengan akidah Ahlu Sunnah. Sungguh, sebuah perjuangan dan upaya yang mengekspresikan jiwa pemberani beliau.
Semangat “pendekatan antar mazhab” ini terus bergulir dalam prinsip gerakan Ikhwanul Muslimin, dan hari demi hari terus melebarkan pengaruhnya di dunia Islam. Salah satu prinsip dalam gerakan Islam ini, ialah menjauhi segala bentuk konflik sektarian dan perselisihan mazhab[4].
Ikhwanul Muslimin senantiasa konsisten dalam esensi keislamannya, gerakan ini adalah gerakan lintas mazhab yang tidak membatasi diri pada mazhab tertentu, yang selalu menghindari perselisihan parsial antar mazhab dan mengingatkan kaum Muslimin akan permasalahan penting ini. Di mata para tokoh gerakan ini, perselisihan pendapat antara para ulama Islam merupakan faktor yang dapat mengembangkan wacana pemikiran dunia Islam dan memajukan kaum Muslimin, terutama dalam aspek fleksibilitas dan dinamisme agama Islam serta praktek ijtihad[5].
Misi persatuan ini pun terus dilanjutkan oleh para peminmpin Ikhwanul Muslimin setelah Syekh al-Banna, salah satunya adalah almarhum Syekh Musthafa Masyhur. Ia pernah mengirimkan pesan ukhuwahnya kepada Ayatullah Khosrow Shahi. Dalam suratnya ini ia menuliskan:
Sejak semula didirikan oleh pemimpin besar, Imam Hasan al-Banna, Ikhwanul Muslimin, dengan mengesampingkan segala perselisihan antar mazhab dan kecenderungan atas pandangan aliran tertentu, senantiasa mengajak seluruh kaum Muslimin kepada persatuan umat, karena perpecahan dan perselisihan antar umat Islam akan menjadikan mereka hina dan lemah di hadapan musuh.
Allah Swt pun berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”, dalam ayat lain, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”
Fondasi ide persatuan umat dan seruan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin ini, bertumpu pada sikap saling mengerti dan prinsip syariat. Kitab suci al-Quran dan sunah Nabawi merupakan dua sumber utama undang-undang agama Islam. Kami tidak akan mengkafirkan setiap Muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan kandungannya, selama ia tidak melakukan perbuatan kufur. Selain itu, kami akan selalu mempraktekkan syiar yang populer dan dikenal sebagai prinsip emas yang berbunyi: “Saling kerjasama dalam masalah-masalah yang disepakati dan menolelir perbedaan pandangan”. Makna prinsip ini sangatlah jelas, tentunya kesamaan pandangan umumnya terletak dalam prinsip-prisip agama, adapun perbedaan terletak dalam furu’ atau cabang agama.
Imam Syahid Hasan al-Banna (semoga Allah Swt merahmatinya), baik dalam ucapan dan prilaku beliau, secara sempurna menyadari dan menekankan akan masalah ini. Saya pribadi menyaksikan foto beliau yang diambil pada tahun 1325 H.Q. Dalam foto tersebut tampak beliau sedang mengadakan pertemuan di “Lembaga Pendekatan Antar Mazhab Islam” bersama para ulama besar lainnya, diantaranya ialah: Syekh Abdul Majid Salim (Syekh al-Azhar masa itu), Mufti Palestina Syekh Amin Husaini, Ayatullah Muhammad Taqi Qommi dan beberapa ulama lainnya. Hubungan baik antara Ikhwanul Muslimin dan para pengikut Syi’ah di Iran dan negara lainnya, semenjak dekade lima puluhan abad ini (abad 20 Masihi) dan paska kemenagan revolusi Islam Iran, sebuah realita yang menjadi saksi akan hal ini.
Kaum Muslimin pada masa ini, lebih membutuhkan kepada persatuan dan solidaritas di banding dengan masa-masa sebelumnya. Cukup sudah, masa dimana perpecahan kaum Muslimin telah menambah kekuatan kepada musuh hingga mampu menundukan mereka (umat Islam).
Perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah Zaidiyah maupun Imamiyah hanya sebatas dalam sebagian cabang agama. Mereka (pengikut Syiah) mengucapakan dua kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” dan menyakini bahwa al-Quran sebagai sumber pertama syariat Islam dan sunah Nabawi sebagai sumber kedua dan [saat shalat] menghadap kepada kiblat yang sama. Agama bukanlah alat permainan masyarakat umum (awam), saat ini telah tiba masanya untuk meredam fitnah dan memadamkan kobaran apinya.
Tertanda: Musthafa Masyhur, 27 Rajab 1423 H.Q. – Kairo
Semangat pendekatan antar mazhab tetap terjaga sehingga kita dapat merasakannya di seluruh tulisan para ulama terkemuka seperti Syekh Ghazali, Syekh Hasan Hudhayyi, Syekh Umar Talmasani, Sayyid Quthub, Syekh Turabi, Syekh Muhammad Hamid Abu Nashr, Syekh Ma’mun Hudhaibi, Syekh Allamah Qaradhawi, Ustadz Muhammad Mahdi ‘Akif dan para ulama lainnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semangat persatuan ini merupakan salah satu faktor terpenting keberhasilan revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Imam Khomaini, yang tentunya berbicara mengenai hal ini akan memakan waktu yang panjang.
Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa sikap obyektif dan jauh dari fanatisme mazhab merupakan kriteria yang paling menonjol yang dimiliki oleh [para tokoh dan anggota] gerakan Ikhwanul Muslimin. Ustazd Muhammad Abdul Halim dalam penelitiannya mengenai gerakan ini menuliskan: “Di antara prestasi terbesar yang diraih oleh kelompok Ikhwanul Muslimin adalah penjagaan dan arahan yang mereka lakukan atas pemikiran Islam tanpa terjerumus kepada penyimpangan, terbawa isu yang menyebar di masyarakat umum dan terjebak pada kondisi yang sulit[6].
Ungkapan ini dapat kita rasakan dalam banyak tulisan para tokoh Ikhwanul Muslimin. Dibandingkan dengan para ulama lainnya, mereka pun lebih banyak merujuk kepada kitab-kitab yang diakui dalam pandangan Syi’ah, seperti kitab Nahjul Balaghah –yang memuat khutbah-khutbah dan mutiara hikmah Imam Ali as yang dikumpulkan oleh Syarif Radhi-. Sebagai contoh, Ustadz Abdul Hamid saat mengomentari perintah Imam Ali as yang ditujukan kepada Malik Asytar dan pengangkatannya sebagai gubernur Mesir, ia menuliskan: “Surat ini merupakan salah satu dokumen bersejarah, ia bagaikan harta karun yang langka yang hingga saat ini belum pernah terlintas di benak para ulama maupun para ahli, kebijakan yang menyerupai atau mirip dengan dokumen tersebut[7].”
Tidak diragukan lagi, ungkapan adalah sebuah kebenaran.
Sikap dan pandangan para tokoh Ikhwanul Muslimin ini terilhami dari kebijakan-kebijakan Imam Hasan al-Banna terutama seruan-seruannya untuk merangkul seluruh kelompok dan golongan umat Islam. Dalam misinya ini, ia menghadapi berbagai tantangan berat terutama dari kelompok Salafi fanatik dan Sufi ekstrim. Semua ini ia alami karena ia telah menempuh jalan tengah dan realistis.
Di pertengahan dekade tiga puluhan, Syekh al-Banna menulis sebuah makalah yang dimuat dalam majalah Ikhwanul Muslimin, dalam makalah tersebut ia menggambar sebuah persegi empat dan di keempat segi tersebut ke arah dalam, ia menuliskan:
لااله الا الله ، محمدا رسول الله
Dan di bagian tengahnya pun ia menggambar sebuah segi empat kecil yang di dalamnya tertuliskan:
لااله الا الله محمد رسول الله
لا لا
اله اله
الا الا
الله الله
محمد محمد
رسول رسول
الله الله
لااله الا الله محمدا رسول الله
Setelah itu, Syekh al-Banna menuliskan:
“Saudara-saudara yang mengkritik sikap kami, seruan mereka hanya terbatas pada makna yang terkandung dalam segi empat kecil yang berada di tengah, yakni mereka hanya akan menerima kelompok yang memiliki ideologi yang sesuai dan benar –secara sempurna- menurut penilaian akidah mereka. Akan tetapi, jumlah mereka hanya sedikit. Adapun seruan [persatuan] kami tertuju kepada seluruh yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt, meskipun menurut keyakinan kami, terdapat problem dalam sebagian ideologi mereka. Kami menyerukan agar di antara setiap golongan dan mazhab Islam terjalin ikatan persaudaraan dalam rangka mewujudkan kembali kejayaan dan kemuliaan Islam. Reruan yang tidak terdapat syarat di dalamnya kecuali ucapan dua kalimat syahadat, dimana dua kalimat syahadat ini mencakup seluruh kaum muslimin dengan berbagai derajat keimanan dan amalan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam.
Tidak diragukan lagi, Syekh al-Banna memandang bahwa sikap yang dilakukan ini merupakan jalan untuk memberi hidayah dan diterapkannnya ajaran Islam –secara sempurna- di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangannya, pintu untuk berdialog secara damai dan ilmiah dalam pelbagai permasalahan fiqih, ushul, akidah dan sejarah tidak pernah tertutup. Seluruh permasalahan ini dapat diterima dan ditolelir dalam lingkaran dua kalimat syahadat dan keimanan kepada rukun-rukun iman dan Islam[8].
Semoga Allah Swt membalas segala amal baik yang ia lakukan ini dengan pahala yang agung! Sekali lagi kami ucapkan salam kepada ruh beliau, kami akan meneruskan misi beliau dan mengajak kepada seluruh umat Islam agar bersama-sama berupaya dalam mewujudkan persatuan Islam, karena tanpa upaya kita semua, persatuan antar umat Islam tidak akan pernah terealisasi dan akibatnya kita pun tidak akan memiliki keutamaan-keutamaan yang disebutkan al-Quran bagi umat pembawa kitab suci ini.
Oleh: Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri
[1] DR. Muhammad Ali Adzar Shab: Parwandeh Taqrîb bainal madzâhib, Hal. 137.
[2] Ibid, hlm. 138.
[3] Referensi ada pada penulis.
[4] Sukhanrânihâye Syekh Hasan al-Banna, hlm. 18-20.
[5] Da’watunâ, hlm: 292.
[6] Al-Ikhwân al-Muslimîn Ru’yatu min ad-Dakhil, Jld. 3, hlm. 581.
[7] Ibid, hlm. 292.
[8] Ibid, jld. 2, hlm. 355.
Gerakan Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam di Mesir merupakan sebuah gerakan budaya yang menunjukkan sejauhmana tingkat keberagaman, intelektual, akidah, sejarah dan fikih umat Islam. Tentu saja usaha tersebut menemui berbagai rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.Gerakan Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap sesama saudaranya. Tentu saja usaha tersebut menemui berbagai rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.  Adalah sangat disayangkan bahwa siasat musuh dalam menciptakan perpecahan dan perselisihan antara Muslimin yang tujuannya adalah terwujudnya instabilitas politik dan kerusuhan tampak berjalan dengan lancar. Tipu muslihat ini terfokus pada usaha untuk mengungkit kembali permasalahan-permasalah sejarah yang sensitif, sehingga umat Islam yang seharusnya bekerja sama menghadapi masalah-masalah besar yang sedang menimpa mereka di masa ini, justru saling berkelahi seputar sejarah dan masa lalu.
Permasalahan ini begitu dahsyatnya sampai-sampai satu sama lain dengan mudah membubuhkan stempel “kafir”, padahal perbedaan mereka hanya berkisar pada furu’uddin (cabang-cabang agama). Mereka beranggapan bahwa perbedaan dalam furu’ berkaitan dengan ikhtilaf dalam ushul (prinsip-prinsip agama). Akhirnya, mereka mengeluarkan fatwa kafirnya pengikut mazhab lain dan orang-orang yang tidak sepaham atau berbeda ijtihad dengan mereka. Sebagian dari mufti-mufti (para pemberi fatwa) ini berkeyakinan bahwa orang-orang kafir non-Muslim jauh lebih baik daripada orang-orang Islam yang berbeda pemikiran dengan mereka. Mereka bersikap seperti orang-orang Yahudi Madinah yang menilai kaum Muslimin dengan berkata kepada kaum musyrik: “Kalian lebih mendapatkan hidayah daripada umat Muhammad.”
Semenjak gagalnya gerakan pendekatan ini kondisi Muslimin semakin memburuk. Mereka tidak saling dekat, bahkan hubungan antara satu mazhab dan mazhab yang lain bagaikan hubungan satu agama dan agama lainnya dimana di antara keduanya terletak jurang pemisah yang dalam. Hingga saat ini musuh-musuh Islam sedang melancarkan aksinya untuk menciptakan jurang-jurang pemisah antara umat Islam, bahkan antara penganut satu mazhab sekalipun.
Umat Islam dewasa ini masih juga menyandang predikat obyek penderita/lemah, baik yang di barat maupun di timur, di selatan maupun di utara. Dengan mata telanjang kita dapat menyaksikan pemandangan pahit ini. Umat Islam yang dulunya adalah umat yang paling besar dan berwibawa daripada umat-umat lainnya, kini sedang mengalami kondisi yang tidak sepatutnya dialami.
Mengapa keterpurukan ini begitu mengakar pada diri kita sehingga kita menjadi umat yang lemah, khususnya di hadapan negara-negara adidaya? Mengapa kita tidak saling memahami kondisi internal kita yang runtuh dan berpecah belah? Dan yang lebih utama dari itu semua adalah, mengapa kita tidak bangkit untuk mencari titik keterpurukan—yang membuat kita lemah dan dilemahkan—ini sehingga kita dapat mengatasinya? Memang benar yang melemahkan kita adalah negara-negara adidaya; namun siapa yang membuat diri kita lemah di hadapan mereka?
Masalah berikutnya, apakah diri kita siap untuk mengakui kebenaran segala yang benar, sehingga dengan demikian kita dapat menujukkan keseriusan dalam berusaha keluar dari jeratan malapetaka ini?
Pertanyaan yang lain adalah, rencana dan program apa saja yang harus kita jalankan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa yang harus kita lakukan untuk melanjutkan gerakan pendekatan antar-mazhab ini?
Kita harus bersikap transparan dan terus terang. Pertama-tama kita harus membangun kembali jembatan kepercayaan antara satu dan yang lain. Sepanjang sejarah jembatan itu telah dirobohkan berkali-kali oleh para tiran yang memegang tampuk kekuasaan. Para penguasa hanya memiliki hubungan yang baik dengan mazhab- yang mereka akui dan yang menguntungkan mereka. Seharusnya mereka membiarkan penganut mazhab lain berkeyakinan sesuai dengan pemikiran mereka. Tidak seharusnya mereka mengkafirkan, menyebut zindig (munafik) dan memusuhi penganut mazhab lain. Budaya pengkafiran yang diciptakan penguasa ini mempengaruhi kebanyakan orang dan membuat mereka terbiasa dengannya, meskipun tanpa tahu-menahu asal usul dan sebabnya. Konsekuensi dari tradisi buruk ini adalah para penganut mazhab yang tak dianggap resmi memilih untuk lari dan hidup menyendiri serta jauh dari interaksi sosial yang sehat. Mereka melakukan praktek taqiyah (menutupi keyakinan yang sebenarnya) dan berada dalam ketakutan.
Para penjajah datang ke tanah air kita pada abad ke-20, sedangkan kita masih dalam keadaan lalai dan belum menyadari seperti apakah hubungan ideal antar sesama Muslim, apapun mazhab mereka. Para penjajah kala itu dengan penuh kesadaran menjalankan siasatnya agar kita sama sekali melupakan isu persatuan ini, sehingga kita tidak dapat bangkit dengan kekuatan persatuan.
Melihat realita di atas, dapat kita katakan bahwa saat ini kita sedang menghadapi dua masalah besar dan berbahaya yang sedang mengancam gerakan pendekatan antar mazhab. Masalah petama, masalah perpecahanan kita. Perpecahanan ini memang didasari oleh faktor politik, namun kita sendiri yang tertipu dan justru mengikuti siasat tersebut. Kemudian perpecahan ini telah disusun secara rapi sebelumnya dan diarahkan sedemikian rupa hingga benar-benar merasuk dalam tubuh kaum Muslimin. Masalah kedua, problema yang ditimbulkan oleh para penjajah dan negara-negara adidaya kepada kita. Problema ini hanya dapat diatasi dengan dijalankannya strategi pendekatan antar mazhab Islam, sehingga terciptalah keamanan internal dan solodnya barisan kaum Muslimin saat berhadapan dengan mereka.
Untuk mewujudkan rencana ini, kita perlu memetakan pelbagai perkara dalam timbangan skala prioritas. Sebagian dari perkara tersebut berkaitan dengan akidah umat Islam, dan sebagian lainnya berkaitan dengan kondisi politik mereka. Mengenai perkara-perkara yang berkenaan dengan akidah, kita perlu memperhatikan beberapa masalah di bawah ini:
Pertama, kita perlu meniru Al Qur’an yang mengajarkan kita cara berdiskusi dan membahas sesuatu. Metode diskusi dan perbincangan yang diajarkan Al Qur’an akan mengantarkan kita keluar dari lingkaran egoisme dan kesempitan berpikir menuju sikap inklusif dan keterbukaan. Metode inilah yang disebut metode terbaik dalam berkomunikasi, dimana kedua belah pihak benar-benar mendapatkan penghormatan oleh lawan bicaranya.
Kedua, kita harus menjadikan Islam sebagai parameter tertinggi dalam berinteraksi. Seharusnya dua syahadat (bersaksi bahwa Allah Swt sebagai Pencipta alam semesta dan Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya) dijadikan sebagai syarat terjaganya setiap Muslim dari kekufuran dan kebebasannya dalam berpendapat sesuai dengan mazhab yang diyakininya, sekaligus menjadi syarat perlindungan terhadap harta dan kekayaan yang dimilikinya.
Ketiga, seharusnya kata “kafir” dihapus dari kamus percakapan dan komunikasi antar Muslim. Seseorang tidak akan pernah keluar dari bingkai keimanan dan masuk dalam jurang kekufuran selama ia tidak bertentangan dengan prinsip dua syahadat tersebut.
Keempat, perbedaan mazhab seharusnya dianggap sebagai variasi dalam kesatuan. Ijtihad setiap mazhab tidak boleh dengan mudah dinilai melenceng dari garis Islam. Mazhab lain tidak boleh dianggap bodoh, bahkan musuh, hanya karena perbedaan cara berpikir dan sumbernya saja. Oleh karenanya, sudah merupakan tugas para pemikir Islam untuk menjadikan budaya komunikasi dan diskusi yang sehat sebagai budaya resmi mereka dimana tak seorang pun yang meragukan dampak positif hal ini.
Kelima, jiwa persahabatan, perdamaian, cinta dan kebebasan harus ditanamkan dalam diri setiap Muslim. Ini adalah tugas utama yang harus diemban oleh setiap cendekiawan dan ulama.
Keenam, pada situasi tertentu, perlu adanya sikap tegas terhadap pihak-pihak garis keras dan yang fanatik agar mereka sadar dan mengikuti aturan yang seharusnya. Sering kali terjadi, misalnya saat diadakan sebuah seminar pendekatan antar-mazhab, kita tidak leluasa mengutarakan pelbagai pendapat kita karena masih tetap ada saja rasa fanatik dalam diri kita, atau mungkin kita tidak menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu mazhab atau pihak lain karena kita tidak sejalan dengan mereka sehingga lawan bicara kita tidak mengetahui yang sebenarnya.
Ketujuh, menjalankan ajaran Al Qur’an, yakni saling menghormati dalam berdiskusi dan bertukar pendapat. Meskipun lawan bicara kita non-Muslim sekalipun, tentu ada titik-titik kesamaan yang dapat ditelusuri dalam pemikirannya dan ditanggapi dengan positif.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan kondisi politik adalah: Pertama, harus ada pemisah antara permasalahan primer dan permasalahan sekunder dalam masyarakat-Muslim. Sebagian dari permasalahan yang berkaitan dengan keseluruhan umat Islam tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau tokoh tertentu yang mewakili beberapa kalangan atau juga sebuah partai yang semuanya mengatasnamakan umat Islam, karena kesalahan bertindak dalam hal ini akan membawa bahaya dan kerugian yang dampaknya akan menimpa umat Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, permasalahan yang mengyangkut kepentingan seluruh umat Islam hanya diselesaikan secara bersama dengan melalui pertimbangan yang matang. Adapun sebagian permasalah yang lainnya, yang bersifat terbatas pada dataran geografis, seperti permasalahan satu negara, adalah masalah yang tidak pokok. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim setempat dan dengan memperhatikan mazhab-mazhab yang ada.
Kedua, negara-negara adidaya secara umum, dan Amerika secara khusus, adalah pihak-pihak yang menjadikan Islam dan penganutnya sebagai sasaran utama mereka. Umat Islam harus mengerti tindakan dan usaha kolektif apa yang harus dilakukan guna menghadapi mereka.
Ketiga, kita harus waspada dengan maraknya istilah-istilah seperti teroris, kekerasan, kejahatan dan lain sebagainya, yang mana semua kata-kata itu ditujukan kepada kita, umat Islam.
Keempat, kita harus memiliki sikap bersama dalam hal bagaimana seharusnya kita menghadapi upaya-upaya musuh yang berlawanan dengan persatuan umat Islam, juga dalam menyikapi istilah-istilah baru yang tersebar di tengah-tengah komunitas dunia, agar kesatuan umat Islam tetap terjaga.
Persatuan antar umat Islam bukan sekedar formalitas dan slogan belaka, bahkan berkaitan langsung dengan keberadaan Islam dan kaum Muslimin di panggung dunia yang keadaan mereka saat ini sedang terpuruk. Poin terakhir yang perlu kami ingatkan adalah, jika kita memang benar-benar tidak mampu mencapai persatuan, maka paling tidak kita harus bisa mengatur dan memahami perbedaan-perbedaan antara sesama kita, agar keutuhan kita sesama sebagai ummatan wahidah (umat yang satu) selalu terjaga.
Jalan terjal dan berliku yang kita sedang kita lewati begitu banyak. Kita sedang berada di situasi yang genting. sepanjang sejarah kita belum pernah menemukan keadaan umat Islam seperti saat ini. Karena itu, kita harus waspada dan bersikap bijaksana. Jika kita masih sibuk mengungkit perbedaan dan isu ikhtilaf mazhab, maka kita harus bersiap-siap untuk terus terpuruk dan kemudian mengalami kebinasaan