Senin, 27 Mei 2013

Istana Kepresidenan Yogyakarta



  Senin, 27 Mei 2013   ||   17 Rajab 1434 H   ||   08:07:23


http://dirrga.com/indonesia/istana-negara/istana-negara-yogyakarta/Top of Form
Bottom of Form

Istana Kepresidenan Yogyakarta terletak di ujung selatan Jalan Akhmad Yani (yang dahulu jalan Malioboro); Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kotamadya Yogyakarta. Kompleks ini dibangun di atas lahan seluas 43.585 meter persegi, sejak didirikannya Istana Yogyakarta tidak banyak berubah. Di halaman serambi depan tampak sebuah patung raksasa penjaga pintu (dwarapala) setinggi dua meter. Selain itu, terdapat sebuah tugu Dagoba (yang oleh orang Yogyakarta disebut Tugu Lilin) setinggi tiga setengah meter, yang senantiasa menyalakan api semu di puncaknya. Tugu ini terbuat dari batu andesit. Halaman belakang istana ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tinggi yang dedaunannnya amat lebat dan rindang sehingga tampak seakan merindangi bangunan istana. Istana Kepresidenan Yogyakarta dikenal juga dengan nama Gedung Agung atau Gedung Negara, salah satu fungsi gedung utama istana, yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung.
Istana Kepresidenan Dari Depan Riwayat Istana Kepresidenan Yogyakarta bermula dari rumah kediaman resmi Residen Ke-18 di Yogyakarta (1823 – 1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan pemrakarsa pembangunan Gedung Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 oleh A. Payen yaitu arsitek yang ditunjuk oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Pembangunan gedung ini sempat tertunda karena pecahnya Perang Diponegoro (1825 – 1830) dan dilanjutkan setelah perang itu usai (1832). Beberapa gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E. Jesper (1926 – 1927); P.R.W. van Gesseler Verschuur (1929 – 1932); H.M. de Kock (1932 – 1935); J. Bijlevel (1935 – 1940); serta L. Adam (1940 – 1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.
Gdung Induk R. Garuda Pada tanggal 6 Januari 1946 Yogyakarta resmi menjadi ibu kota baru Republik Indonesia setelah pemerintah Republik Indonesia berhijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak saat itu Gedung Agung berubah menjadi Istana Kepresidenan, rumah kediaman Presiden Soekarno, Presiden I RI beserta keluarganya.
Pada tanggal 28 Desember 1949, Presiden berpindah ke Jakarta, sehingga istana ini tidak lagi menjadi tempat kediaman Presiden. Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Parade Senja pada setiap tanggal 17, di samping untuk Acara Perkenalan Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan sejak 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk DI Yogyakart

http://www.presidenri.go.id/istana/index.php/statik/sejarah/yogya.html
kediaman resmi residen Ke-18 di Yogyakarta (1823-1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan penggagas atau pemrakarsa pembangunan Gedung Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 di masa penjajahan Belanda. Ini berawal dari keinginan adanya "istana" yang berwibawa bagi residen-residen Belanda. Arsiteknya bernama A. Payen; dia ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu. Gaya bangunannya mengikuti arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Pecahnya Perang Diponogero (1825-1830), yang oleh Belanda disebut Perang Jawa, mengakibatkan pembangunan gedung jadi tertunda. Musibah / gempa bumi terjadi dua kali pada hari yang sama, menyebabkan tempat kediaman resmi residen Belanda itu runtuh. Namun bangunan baru didirikan dan rampung pada tahun 1869. Bangunan inilah yang menjadi Gedung Induk Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang kini disebut Gedung Negara.
Sejarah juga mencatat bahwa pada tanggal 19 Desember 1927, status administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi provinsi. Penguasa tertinggi Belanda bukan lagi residen, melainkan gubernur. Dengan demikian, gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 tersebut menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya pendudukan Jepang. Beberapa Gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E Jasper (1926-1927), P.R.W van Gesseler Verschuur (1929-1932), H.M de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), serta L Adam (1940-1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.
Riwayat Gedung Agung itu menjadi sangat penting dan sangat berarti tatkala pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg tersebut resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda, dan istana itu pun berubah menjadi Istana Kepresidenan sebagai kediaman Presiden Soekarno, Presiden I Republik Indonesia, beserta keluarganya. Sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarga ketika itu tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072 / Pamungkas, yang tidak jauh dari kompleks istana.
Sejak itu, riwayat istana (terutama fungsi dan perannya) berubah. Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Rebulik yang masih muda itu pun dibentuk dan dilantik di Istana ini pula.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur oleh tentara Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa yang dikenal dengan Agresi Militer II itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, beserta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Mulai tanggal tersebut, istana kembali berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi kediaman Presiden.
Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi Gedung Agung pada awalnya berdirinya Republik Indonesia (tanggal 3 Juni 1947). Pada saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, selama tiga tahun (1946-1949), gedung ini berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden I Republik Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak tanggal 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta / Gedung Agung digunakan sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala negara dan kepala pemerintahan dan tamu-tamu negara, telah berkunjung atau bermalam di Gedung Agung itu. Tamu negara yang pertama berkunjung ke gedung itu adalah Presiden Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan, Raja Bhumibol Adulyajed dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari Pakistan (1960) berkunjung dan bermalam di gedung ini. Setahun kemudian (1961), tamu negara itu adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair. Pada tahun tujuh puluhan, yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal dari Filipina (1971), Ratu Elizabeth II dari Inggris (1974), serta Perdana Menteri Srimavo Bandaranaike dari Sri Langka (1976).
Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu negara itu adalah Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahat di Gedung Agung, antara lain, Putri Sirindhom dari Muanghthai (1984), Ny. Marlin Quayle, Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari Inggris (1989), dan Kepala Gereja Katolik Paus Paulus Johannes II (1989).
Pada tahun sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke Gedung Agung itu adalah Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Shah dari Malaysia (1990), Kaisar Akihito Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).
(Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI,2004)

Gedung Agung

Istana Yogyakarta yang dikenal dengan nama Gedung Agung terletak di pusat keramaian kota, tepatnya di ujung selatan Jalan Ahmad Yani dahulu dikenal Jalan Malioboro, jantung ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan istana terletak di Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, dan berada pada ketinggian 120 m dari permukaan laut. Kompleks istana ini menempati lahan seluas 43.585 .

Sejarah

Masa Hindia Belanda

Gedung utama kompleks istana ini mulai dibangun pada Mei 1824 yang diprakarsai oleh Anthony Hendriks Smissaerat, Residen Yogyakarta ke-18 (1823-1825) yang menghendaki adanya "istana" yang berwibawa bagi residen-residen Belanda sedangkan arsiteknya adalah A. Payen.
Karena adanya Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) pembangunan gedung itu tertunda. Pembangunan tersebut diteruskan setelah perang tersebut berakhir yang selesai pada 1832. Pada 10 Juni 1867, kediaman resmi residen Belanda itu ambruk karena gempa bumi. Bangunan baru pun didirikan dan selesai pada 1869. Bangunan inilah yang menjadi gedung utama komplek Istana Kepresidenan Yogyakarta yang sekarang disebut juga Gedung Negara.
Pada 19 Desember 1927, status administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi provinsi di mana Gubernur menjadi penguasa tertinggi. Dengan demikian gedung utama menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta sampai masuknya Jepang.

Masa Ibukota Republik

Pada 6 Januari 1946, "Kota Gudeg" ini menjadi ibu kota baru Republik Indonesia yang masih muda dan istana itu berubah menjadi Istana Kepresidenan, tempat tinggal Presiden Soekarno beserta keluarganya, sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072/Pamungkas. Sejak itu Istana Kepresidenan Yogyakarta menjadi saksi peristiwa penting diantaranya pelantikan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947 dan sebagai pucuk pimpinan angkatan perang Republik Indonesia pada 3 Juli 1947.

Agresi Militer Belanda II

Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda dibawah pimpinan Jenderal Spoor, Presiden, Wakil Presiden dan para pembesar lainnya diasingkan ke luar Jawa dan baru kembali ke Istana Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Sejak 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi tempat tinggal sehari-hari Presiden.

Saat ini

Kantor & kediaman resmi Presiden

Istana Yogyakarta atau Gedung Agung, sama halnya dengan istana Kepresidenan lainnya yaitu sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Selain itu juga sebagai tempat menerima atau menginap tamu-tamu negara. Sejak 17 Agustus 1991, istana ini digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan penyelenggaraan Parade Senja setiap tanggal 17 yang dimulai 17 April 1988.

Kompleks bangunan

Istana Yogyakarta terdiri atas enam bangunan utama yaitu Gedung Agung (gedung utama), Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu dan Wisma Saptapratala. Gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 sampai sekarang bentuknya tidak mengalami perubahan. Ruangan utama yang disebut dengan Ruang Garuda berfungsi sebagai ruangan resmi untuk menyambut tamu negara atau tamu agung yang lain. Selain wisma-wisma tersebut sejak 20 September 1995 komplek Seni Sono seluas 5.600 meter persegi, yang terletak di sebelah selatan, yang semula milik Departemen Penerangan, menjadi bagian Istana Kepresidenan ini.

Monumen di Istana


http://bits.wikimedia.org/static-1.22wmf3/skins/common/images/magnify-clip.png
Pintu masuk Gedung Agung dengan patung batunya
Di depan gedung utama, di halaman istana, ada sebuah monumen batu andesit setinggi 3,5 meter yang disebut Dagoba, yang berasal dari Desa Cupuwulatu, di dekat Candi Prambanan.

GEDUNG AGUNG, ISTANA NEGARA YOGYAKARTA


Foto By :Indra Kusuma Sejati
Gedung Agung, Istana Negara Yogyakarta terletak di ujung jalan Malioboro Kota Yogyakarta. Gedung Agung , Istana Negara Yogyakarta pernahmenjadi tempat tinggal Presiden Soekarno pada tahun 1946,ketika Yogyakarta menjadi Ibu Kota negara Indonesia pada 6 Januari 1946.

Namun, setelah kepindahan Presiden Soekarno ke Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949. Gedung Agung, Istana Negara Yogyakarta tidak lagi dipergunakanan sebagai Istana Kepresidenan. Sampai saat ini Gedung Agung masih digunakan sebagai tempat melaksakan agenda-agenda kenegaaan. Misalnya, pada saat di langsungkan upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus di Yogyakarta.

Gedung Agung atau nama lainnya Istana Negara Yogyakarta juga sering dipergunakan untuk menerima tamu dari negara-negara sahabat atau pun sebagai tempat kegiatan tertentu pemerintah yang dilaksanakan di Yogyakarta.

Informasi ini penulis dapatkan dari pusat informasi Gedung Agung Yogyakarta pada saat melakukan Wisata Budaya 2011 pada akhir tahun 2011. Semoga informasi ini bermanfaat untuk kita semua.

Salam,

 

http://www.blopress.com/2012/12/misteri-fakta-mistis-istana-negara-Yogyakarta.html

Misteri Fakta Mistis Istana Negara Yogyakarta

Saturday, December 29, 2012
Misteri Fakta Mistis Istana Negara Yogyakarta - Takhayul atau bukan, istana-istana Presiden di Indonesia menyimpan kisah misteri. Apakah memang ada 'penunggu' di beberapa ruangan dalam istana, atau memang 'sengaja' ditaruh untuk memagari area sekitarnya? Inilah kisah yang tercatat selama ini.

Istana Negara Yogyakarta


Seorang paranormal (yang tidak disebut namanya) pernah diminta tolong oleh Paspanpres karena sering mendapat gangguan makhluk halus. Setelah dilihat oleh paranormal tersebut, hal yang dianggap mengganggu tersebut berasal dari kekuatan kitab stambul yang sering berpindah secara ghaib di sekitar istana.

Dulunya Gedung Agung bernama Loji Kebon, bangunan yang juga bergaya eropa itu didirikan tahun 1824. Pada saat-saat tertentu juga sering terdengar suara prajurit berbaris yang tidak terlihat.

Istana ini terdiri dari beberapa ruang yaitu ruang Garuda sebagai ruangan menerima tamu kenegaraan. Lalu ruang Diponegoro adalah ruangan yang dipergunakan untuk duduk para tamu pada acara-acara tertentu yang sifatnya umum. Terletak disebelah kiri Ruang Garuda, di ruangan ini dipasang lukisan Pangeran Diponegoro untuk mengenang sejarah kepahlawanannya. Kemudian ruang makan VVIP terlentak di antara Ruang Garuda dengan Ruang Kesenian. Suasana ruangan ini hangat dengan permadani warna merah dari Esfahan, di sekelilingnya dipasang lukisan-lukisan lama koleksi Istana, serta tirai pintu yang menjuntai senada dengan warna permadani dihias bingkai kayu jati ukiran Jepara menambah suasana akrab dalam ruangan ini. Ruang Kesenian digunakan untuk pergelaran kesenian bila ada Tamu Negara berkunjung ke Yogyakarta. Selain itu juga digunakan untuk memamerkan barang-barang kerajinan tradisional misalnya batik, kulit, keramik, perak dan hasil industri kerajinan lain.

Wisma Negara dimulai pembangunan pada bulan Oktober 1980, merupakan bangunan baru di lingkungan Istana Kepresidenan Yogyakarta. Maksud dibangunnya gedung ini adalah untuk penginapan rombongan Tamu Negara yang berkunjung dan bermalam di Istana Yogya. Berada di sisi Selatan Istana berdiri Museum Istana yang dulu merupakan bagian dari Gedung Seni Sono. Bangunan yang dulu merupakan ajang berkumpulnya para seniman dan budayawan seperti Ebiet G Ade, Emha Ainun Najib, dan Umbu Landu Parangi, ini sekarang menjadi bagian dari Istana Gedung Agung. Seni Sono ini dulu dikenal juga sebagai “Gedung Jenever” karena pernah berfungsi sebagai cafe pada zaman Belanda. Sekarang Gedung ini berfungsi sebagai tempat penyelenggraan acara-acara seremonial khusus serta dirancang sebagai gedung informasi dan penyimpanan barang-barang koleksi Istana dari berbagai tamu negara yang berkunjung.

Sumber : http://matajogja.wordpress.com/