Rabu, 27 Maret 2013

Ilmu Takhrij Hadits

ILMU TAKHRIJ HADIST


A. Pengertian.

Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.


Sedangkan menurut istilah muhaditsin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian :
1. Sinonim dan ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadist dengan menyebutkan sumber keluarnya (pemberita) hadist tersebut.
2. Mengeluarkan hadist-hadist dari kitab-kitab, kemudian sanad-sanadnya disebutkan.
3. Menukil hadist dari kitab-kitab sumber (diwan hadist) dengan menyebut mudawinnya serta dijelaskan martabat hadistnya.

Rumusan Mahmud al-Thahhah tentang ta’rif takhrij adalah :

التخريج هو الدلالة على موضع الحديث فى مصادره الاصلية التى اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحاجة

“Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadist dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan”.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa takhrij meliputi kegiatan :
a. Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadist.
b. Penukilan hadist dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.
c. Mengutip hadist-hadist dari kitab-kitab fan (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad-sanadnya.
d. Membahas hadist-hadist sampai diketahui martabat kualitas (maqbul-mardudnya).

B. Metode Takhrij

Takhrij sebagai metode untuk menentukan kehujahan hadist itu terbagi kedalam 3 kegiatan, yakni (1.) Naql, (2.) Tashhih, (3.) I’tibar.

1. Takhrij Naql atau Akhdzu.

Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran penukilan dan pengambilan hadist dari beberapa kitab/diwan hadist (mashadir al-asliyah), sehingga dapat teridentifikasi hadist-hadist tertentu yg dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.

Berbagai cara pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadist, diantaranya yg dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan yg menyebutkan 5 tekhnik dalam menggunakan metode takhrij sebagai al-Naql sbb :

a. Takhrij dengan mengetahui shahabat yg meriwayatkan hadist.
b. Takhrij dengan mengetahui lafazh asal matan hadist.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadist yg kurang dikenal.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadist.
e. Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadist.

a. Metode takhrij / al-Naql melalui pengetahuan tentang nama shahabat perawi hadist.

Metode ini hanya digunakan bilamana nama shahabat itu tercantum pd hadist yg akan ditakhrij. Apabila nama shahabat tsb tidak tercantum dalam hadist itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai.

Apabila nama shahabat tercantum pada hadist tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan 3 macam kitab, yaitu : (1.) kitab-kitab musnad, (2.) kitab-kitab mu’jam, dan (3.) kitab-kitab Athraf.

Kitab-kitab musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama shahabat, atau hadist-hadist para shahabat dikumpulkan secara tersendiri.

Kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ahli hadist itu sangatlah banyak, sebagian diantaranya sebagai berikut :

a. Musnad Ahmad bin Hanbal.
b. Musnad Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi.
c. Musnad Ubaidillah, dll.

Kitab Mu’jam adalah kitab yg ditulis menurut nama-nama shahabat, guru, negeri atau yg lainnya, yg nama-nama tsb diurutkan secara alfabetis. Kitab-kitab tersebut diantaranya :

a. Mu’jam al-Shahabah li Ahmad ibn al-Hamdani.
b. Mu’jam al-Shahabah li abi Ya’la Ahmad ‘Ali al-Mashili, dan lain-lain.

2

Kitab Athraf adalah kitab yg penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadist yg menunjukan keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya, baik secara keseluruhan atau dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu. Yang mana kitab ini biasanya mengikuti musnad shahabat. Kitab-kitab Athraf itu diantaranya adalah :

a. Athraf al-Shahihain li Abi Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi.
b. Athraf al-Shahihain li Abi Muhamad Khalaf ibn Muhamad al-Wasithi, dll.

Manfaat dari kitab-kitab Athraf adalah :

1. Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apaka hadist itu gharib, aziz, atau masyhur.
2. Memberitahu perihal siapa saja yg diantara para penyusun kitab-kitab hadist yg meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3. Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yg dibuat athrafnya.

Dalam kitab-kitab Athraf hanya diterangkan perihal sebagian matan hadist saja, maka untuk mengetahui lebih lengkap perlu merujuk pada kitab-kitab sumber yg populer, yg ditunjukan oleh kitab Athraf tersebut.

1. Kitab-kitab hadist yang disusun untuk hadist-hadist yg popular dimasyarakat diantaranya :
a. Al-Tadzkirah fi Ahadist al-musyitahirah li al-Zarkasyi.
b. Al-Darur al-Muntatsirah fi Ahadist al-Mustahirah li al-Suyuti, dll
2. Kitab yg disusun secara alfabetis, antara lain : Al-Jami’ al’Shadhir min hadist al-Basyir al-Nadhir Li Jalal al-Din ‘Abdurahman Abi Bakr al-Suyuthi.
3. Kitab-kitab kunci atau indeks bagi kitab-kitab tertentu antara lain :
a. Miftah al-Shahihain li al-Tauqadi.
b. Miftah li Ahadist Muwatha’ Malik, dll.

b. Metode Takhrij /al-Naql melalui pengetahuan salah satu lafazh Hadist.

Metode ini hanya menggunakan satu kitab penunjuk saja, yaitu : “Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadist al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr.Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi, dll.

Kitab-kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana masing-masing mempunyai kode tersendiri.

c. Metode Takhrij /al-Naql melalui pengetahuan tema hadist.

Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadist. Orang yang awam akan hadist akan sulit untuk menggunakan metode ini. Karena yg dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadist yang akan ditakhrijkan. Baru kemudian kita membuka kitab hadist pada bab dan kitab yang mengandung tema tersebut.

Adapun kitab-kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab-kitab yg disusun secara tematis. Serta kitab-kitab ini dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Kitab-kitab yang berisi seluruh tema Agama, diantaranya :
a. Al-Jami’ al-Shahih Li al-Bukhari.
b. Al-Jami’ al-Shahih Li Muslim.
c. Mustakhraj al-Ismaili, dll.
2. Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema Agama, seperti kitab Sunan, yaitu :
a. Sunan Abi Dawud Li Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-Sijistan.
b. Al-Muwatha’Li al-Imam Malik Ibn Anas al-Madani. Dll.
3. Kitab yang hanya berisi satu tema Agama saja, sebagai contoh :
a. Al-Ahkam Li’Abd al-Ghani ibn ‘Abd al-Wahid al-Muqdisi, dll.

d. Metode Takhrij melalui Pengetahuan tentang sifat khusus matan atau sanad hadist.

Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan sifat hadist yg baik yang ada pada matan dan sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian yang ada pada kedua-duanya.

Dari segi matan : apabila pada hadits itu tampak tanda-tanda kemaudhuan , maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits maudhu. Dalam kitab ini ada yang disusun secara alfabetis antara lain kitab al-mashnu’al-hadits al-maudhu’ li al syaikh ‘alal qori al-syari’ah. Dan ada yang secara matematis, antara lain kitab tanzih al-syari’ah al-marfu’ah ‘an al-ahadits al-syafiah al-maudhu’ah li al kanani.
Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada cirri tertentu, misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal., atau mungkin ada seorang perowi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab mizan al-I’tidal li al- dzahahi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu, yaitu :
• ‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi
• Al-mustafad min mubhamat al-matn wa al-isnad li abi zar’ah ahmad ibn al-rahim al-iraqi

2. Takhrij Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan al-naql.
Tashhih dalam arti menganalisis keshohihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah. Kegiatan tashih dilakukan dengan menggunakn kitab ‘Ulum al-Hadits yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, Ma’an al Hadits, Gharib al-Hadits dan lain-lain.
Kegiatatn ini dilakukan oleh mudawwin ( kolektor) sejak nabi saw sampai abad III Hijriyyah, dan dilakukan o;eh para syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini.

3. Takhrij I’tibar
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas, I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadits.
Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
1. dilihat, apakah teks hadits tersenur benar-benar sebagai hadits.
2. dikenal unsur yang harus ada pada hadits, berupa rawi, sanad dan matan.
3. termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawinya, matanya dan sanadnya.
4. bagaimana kualitas hadits tersebut?.
5. Bila hadits itu maqbul, bagalmana ta’amulnya, apakah ma’mul bih (dapat diamalkan) atau ghoir ma’,ul bih?
6. tekss hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
7. memahami asbab wurud hadits
8. apa isi kandungan hadis tersebut
9. menganalisis problematika

C. Sejarah Takhrij Hadits
Kegiatan mentakhrij hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama mutaakhkhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan para ulama mutaqoddim menurut al’iraqi, dalam mengutip hadits-haditsnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadits itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadits-hadits tersebut, sampai kemudian datang an-Nawawi yang melakukan hal itu.
Adanya pemikiran tentang takhrij ini muncul dan diperlukan, ketika para ulama merasa mendapat kesulitan untuk merujukan hadits-hadits yang tersebar pada berbagai kitab dengan disiplin ilmu agama yang bermacam-macam. Mereka mengeluarkan hadits-hadits yang dikutip dalam kitab-kitab lain dengan merujukan pada sumbernya. Didalamnya juga dibicarakan kualitas-kualias kesohihanya. Dari perkembangan ini kemudian muncul kitab-kitab takhrij.
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud ath-Thahhan, ialah al-Khatib al-Baghdadi (463 H).kemudian bermunculan kitab-kitab takhrij lainnya. Nemun menurutnya, yang paling baik ialah karya al-Zaila’I yang berjudul Nash bar-Rayah li Ahadits al-Hidayah.

DAFTAR PUSTAKA


Dr. Utang Ranuwijaya, MA. 2001. Ilmu Hadis. Jakarta : Gaya Media Pratama

Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si. 2008. Ilmu Hadits. Bandung : Mimbar Pustaka

Qadir Hasan, A. 2001. Ilmu Mustholah Hadits. Bandung : CV.Diponegoro

Faturrahman. Ikhtisar Mustolah Hadits

http : //www.google.co.id. Abu al-Jauzaa
 http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/03/ilmu-takhrij-hadits.html
Ilmu Takhrij Hadits, Cara Mentakhrij Hadist dan Ilmu Sanad

Pengertian Takhrij

Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja ( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( اْلِإخْرَج ) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( المَخْرَج ) artinya artinya tempat keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.

Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.

Sejarah Takhrij Hadits

Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidakmerasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "Kutub At-Takhrij" (buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah :

* Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
* Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
* Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762 H).
* Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila'I juga. [Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi ]
* Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
* Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806 H).
* Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga.
* At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H).
* Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar juga.
* Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H).

Contoh :

Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Hadits 'Ali bahwasannya Al-'Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin 'Adi, dari 'Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-'Adawi, dari 'Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,"Imam Asy-Syafi'I berkata : 'Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-'Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?'. Al-Baihaqi berkata,"Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari 'Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,"Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-'Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun". Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha'. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda kepada 'Umar,"Kami pernah mempercepat harta Al-'Abbas pada awal tahun". Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi'" [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]

METODE TAKHRIJ

Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut :

Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari shahabat

Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :

* Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
* Al-Ma'aajim (mu'jam-mu'jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
* Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.

Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits

Cara ini dapat dibantu dengan :

* Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya : Ad-Durarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi; Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah 'alal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru 'ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits karya Ibnu Ad-Dabi' Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilbas 'amma Isytahara minal-Ahaadits 'ala Alsinatin-Naas karya Al-'Ajluni.
* Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya : Al-Jami'ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
* Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya : Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa' Malik karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi.

Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits

Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu'jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus-Sittah, Muwaththa' Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.

Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits

Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu :

* Shahih Bukhari
* Shahih Muslim
* Sunan Abu Dawud
* Jami' At-Tirmidzi
* Sunan An-Nasa'i
* Sunan Ibnu Majah
* Muwaththa' Malik
* Musnad Ahmad
* Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
* Sunan Ad-Darimi
* Musnad Zaid bin 'Ali
* Sirah Ibnu Hisyam
* Maghazi Al-Waqidi
* Thabaqat Ibnu Sa'ad

Dalam menyusun kitab ini, penyusun (Dr. Vensink) menghabiskan waktunya selama 10 tahun, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selama 4 tahun.
http://sketsaku07.blogspot.com/2011/06/membedah-arti-takhrijul-hadits.html

Takhrijul Hadits

                   Pendahuluan
Kenyataan menunjukkan bahwa Hadits yang menjadi sumber kedua dalam islam setelah Al- Quran, telah terhimpun dalam bebagi kitab Hadits. Tetapi antar kitab yang satu dengan lainnya berbeda- beda sitem penyusunannya. Disamping itu, Hadits – hadits Nabi SAW. juga terdapat dalam kitab – kitab non-kitab non-Hadits, seperti kitab –kitab tafsir, fikih sirah, dan sebagainya.
            Untuk mengetahui kuat lemahnya (nilai) suatu hadits, antara lain diperlukan pengetahuan secara lengkap terhadap Hadits tersebut, baik dari segi matan maupun sanadnya. Dan untuk mengetahuinya perlu dilacak lewat sumber-sumbernya yang asli (sumber primer).
            Para ulama telah menyusun berbagai macam kitab petunjuk untuk melacak/mencari Hadits dalam sumber-sumber primer, ada yang bernama “Athraf”, “Miftah”, dan ada pula yang bernama “al-Mu’jam”. Masing – masing kitab petunjuk ini berbeda-beda sistem dan metode penyusunannya. Dalam uraian ini akan dijelaskan bagaimana cara menemukan suatu hadits dalam sumber- sumber, sehingga dapat diketahui matan dan sanadnya yang lengkap, dan pada gilirannya nanti akan diketahui pula nilai Hadits tersebut (bila diperlukan). Istilah yang sudah baku dalam masalah ini adalah takrij al-Hadits.
    II.            Pembahasan
A.    Pengertian Takhrij Al-Hadits.
       Kata “Takhrij” adalah bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa : “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah.[1]
       Kata lain yang hampir sama (sinonim) dengan takhrij adalah “ ikhraj”. Kata dasar dari keduanya adalah “khuruj”. Dari kata ini dapat dibentuk kata makhraj (isim makan), yang berarti tempat keluar. Sehubungan dengan masalah ini ada kata – kata ahli Hadits untuk mengomentari beberapa Hadits, seperti diketahui tempat keluarnya atau tidak diketahui tempat keluarnya. Yang dimaksud tempat keluar (makhraj) dalam kalimat itu adalah tempat dari mana hadits itu keluar, yakni rangkaian orang yang meriwayatkannya, karena melalui jalan merekalah Hadits itu keluar.[2]
Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;
االتخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة
المراد بالدلالة على موضع الحديث, ذكر المؤلف التي يوجد فيها ذلك الحديث كقولنا مثلا : أخرجه البخاري في صحيحه إلخ.
Artinya :
“Menunjukkan letak Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila perlu.[3] Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti menunjukkan sumber – sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan أخرجه البخاري في صحيحه    (Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya).
Sumber-sumber Hadits yang asli (primer) dimaksud adalah kitab- kitab Hadits, dimana para penyusunannya menghimpun Hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi SAW. seperti kitab al- sittah (sahih, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, al- Turmudzi, al-Nasa’I, dan Ibnu Majah). Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hakim. Atau kitab-kitab Hadits yang menghimpun, meringkas atau membuat athraf (semacam kitab/hadits yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadist yang menunjukkan keseluruhannya). bagi kitab – kitab yang termasuk kategori di atas seperti al-Jami’ bayna al-sahihain karangan Al-Hamidi. Atau kitab – kitab non Hadits (seperti : tafsir, tarikh, fiqh, dan sebagainya) yang didalamnya terdapat hadits –hadits yang oleh penyusunnya dibawakan sendiri sanadnya sampai kepadanya, artinya Hadits itu tidak dikutip dari kitab lain, seperti : tafsir al-Thabari, tarikh al-Thabari, al-Umm al-Syafi’i[4].
            Dari beberapa kitab hadits yang tidak dianggap sebagai sumber – sumber Hadits yang asli (primer) seperti : kitab –kitab yang isinya menerangkan tentang masalah hukum, contoh kitab bulughul maram min adillatil Al- ahkam karangan Al-hafidz ibnu hajar, begitu juga kitab-kitab hadits yang menghimpun urutan – urutan Alphabet arab contoh kitab Al-jami’ Al-shaghir karangan Imam Al-suyuthi dan kitab kitab hadis lain yang mengumpulkan hadis – hadis yang telah disebutkan diatas seperti kitab Al-arbai’n nawawiyah dan kitab riyadhus As-shalihin karangan Imam nawawi[5].
B.     Macam – Macam takhrij
Adapun macam-macam takhrij itu ada 3 :
a.       Takhrij Muwassa’.
b.      Takhrij wasath atau mutawassith.
c.       Takhrij Mukhtashar[6].
Berikut penulis makalah akan menjelaskan pengertian masing-masing takhrij diatas :
a.       Takhrij al-Muwassa’ adalah
هوغاية التخريج ونهاية المطاف،وهو التخريج الذي يقوم فيه المخرِّج بإيراد الحديث بأسانيده مع الكلام على رواته وبيان درجته وتوضيح الغامض في متنه،ثم يذكر ما يكون له من شواهد،وما يقع فيه من علل.
Artinya :
Takhrij yang dibentuk oleh mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) dengan cara mendatangkan hadits berserta sanad-sanadnya, mengomentari rowi,  menjeaskan derajatnya dan hal yang samar pada matannya lalu serta menyebutkan syahid  dan ilat – ilatnya dalam hadits”.
       Adapun takhrij ini terdapat pada kitab badrul al-Munir karangan Ibnu al- Mulqin 10 jilid, kitab Nashbu al-Rayyah karangan az-Zailai’I 4 jilid dan kitab Ikhbarul al-Ahya’ bi al- akhbaaril al-ihya’ karangan Imam al-I’raqi
Adapun motif dari takhrij muwassa’ ini adalah untuk :
1.      Memutawatirkan atau mempopulerkan hadits[7].
Contoh : Hadits tentang mengusap dua muzzah, dalam hadits ini Imam al-Zailai’ mengomentari hukum mengusap dua muzzah, beliau mengungkapkan bahwa hukum mengusap dua muzzah adalah boleh karena adanya dalil sunnah dan khabar – khabar yang mashhur yang membincangkan hadits tersebut. Imam al-zailai’ dari imam abu umar ibnu abdul al-Barr didalam kitabnya al- Istidzkar beliau berkata :
رَوَى عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ نَحْوُ أَرْبَعِينَ مِنْ الصَّحَابَةِ،
Artinya : 40 shahabat meriwayatkan tentang hadits mengusap dua muzzah dari nabi.
وَفِي الْإِمَامِ: قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: رُوِّينَا عَنْ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنِي سَبْعُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ
         Dan di dalam kitabnya al-Imam, imam ibnu al- Mundzir berkata : kami diriwayatkan hadits ini dari al-Hasan bahwasannya beliau berkata : telah menceritakan pada kami dari 70 shahabat nabi bahwasannya rosulullah pernah mengusap dua muzzah[8].
       Selain itu juga Imam al-Zailai memperluas dalam takhrijnya, dan motif beliau mentakhrij ini bukanlah untuk menshahihkan hadits dan menolak ilat akan tetapi beliau mentakhrij hadits ini tujuannya hanyalah untuk memutawatirkan dan mempopulerkan hadits[9].
2.      Mengungkapkan ilat atau menolaknya yang tertera dalam hadits, kemudian menghimpun dan mengadakan riset (penelitian) periwayat hadits yang mempunyai peranan penting dalam memastikan dan menolak ilat dalam hadits.
Dalam hal ini imam Ibnu al- Madini berkata :
" الحديثُ إذا لم تجمع طرقه لم تكشف علته".
Artinya : Jikalau hadits itu tidak terhimpun periwayatnya maka ilatnya tidak akan tersingkap.
Contoh : Hadits tentang dua qullah yang ditakhrij oleh Imam al-Daruthni didalam kitab sunannya dari 25 periwayat, dan beliau mampu menolak ilat hadits itu dikarenakan asumsi para ulama mengenai kekacauan hadits tersebut[10].
b.      Takhrij wasath atau mutawassith
وهو تخريجٌ بين المطوَّل والمختصر،يعني فيه المخرِّج بذكر روايات الحديث المشهورة.
Artinya: Takhrij wasath atau mutawassith adalah takhrij diantara takhrij yang panjang dan ringkas, maksudnya si mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) menyebutkan perowi hadits yang masyhur.
       Adapun Takhrij ini terdapat dalam kitab al-Kasyfu al-Mubin An takhrij ahadiitsii ihya ulumuddin karangan al-Iraqi, kitab al-Talkhish al-Habir karangan hafidz ibnu hajar, kitab khulashoh al-Badrul munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan beliau ketika menjelaskan manhajnya di dalam kitab khulashoh beliau berkata : Motif saya dalam mentakhrij hadits yaitu untuk menyebutkan periwayat yang paling shohih dan hasan, dan di dalam maqalah – maqalah beliau tentang periwayat yang paling rojih (unggul), beliau memberikan isyarat dengan perkataannya yaitu  dengan lafadz )  متفق عليه  telah disepakati). Isyarat beliau ini muncul ketika yang meriwayatkannnya adalah Imam muhadditsin yaitu Imam Abu abdillah Muhammad ibnu ismail ibnu Ibrahim ibnu bardazbah al-Ju’fi al-Bukhori dan Abu al-Husain muslim Ibnu al-Hujjaj al-Qusyairi an-Nasyaaburi, dan beliau juga berkata : رواه الأربعة (diriwayatkan oleh 4 imam) ketika yang meriwayatkannya adalah Imam al-Turmudzi didalam kitab jami’nya dan Abu dawud, an-Nasaii dan Imam ibnu majah didalam kitab sunannya. Dan beliau juga berkataرواه الثلاثة       (diriwayatkan oleh 3 imam ) ketika yang meriwayatkannya adalah Imam yang telah disebutkan diatas di dalam kitab sunannya selain Imam Ibnu majah[11].
c.       Takhrij mukhtashar
هو التخريج الذي يقتصر فيه المؤلف على رواية الحديث بأقوى أسانيد المؤلف أو بأعلاها وأشهرها - من حيث السند- وأدل ألفاظها وأدقها في العبارة عند مؤلفه على المعاني والأحكام - من حيث المتن-.
       Yang dimaksud dengan takhrij Mukhtashar adalah Takhrij yang diringkas oleh pengarang kitab atas periwayatan hadits dengan sanad-sanad Muallif (pengarang kitab) yang lebih akurat atau dengan sanad- sanad muallif yang paling atas dan yang paling mashhur (terkenal) ditinjau dari segi sanad dan dengan lafadz yang lebih mengena dan lembut dalam ungkapannya tentang makna dan hukum – hukum menurut muallif ditinjau dari segi matan (konteks) hadits.
Di dalam takhrij ini ada 2 macam metodenya :
1.      Takhrij dengan riwayah maksudnya adalah para ulama hadits mencantumkan sebagian perowi hadits dari beberapa perowi hadits yang ada kerena ada tujuan menurut pandangan salah satu dari ulama tersebut. Seperti kitab as-Shahih nya Imam bukhari yang diringkas dari kitab Musnad al-Kabir yang sebagian sanadnya yang shohih di tiadakan oleh beliau. Begitu pula kitab shahih ibnu al-Khuzaimah
2.      Takhrij dengan penisbatan atau Ihalah (memindah) seperti kitab al-Muntaqa minal badril munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan kitab at-Tarhib wa at-Tarhib karangan al-Mundziri, yang menjelaskan didalam muqaddimahnya, bahwa kitab tersebut mentakhrij kitab mukhtasshar[12].
C.     Pengertian kutub al-Ashliyyah
       Yang dimaksud dengan kutub al-ashliyyah adalah Kitab-kitab yang asalnya tanpa bersanad kemudian menjadi kitab yang mempunyai sanad.
       Adapun Kutub al-Ashliyyah itu diantaranya terdapat pada kitab al-Adzkar an-Nawawi karangan Imam nawawi, kitab ini sebenarnya asalnya tidak bersanad. Namun setelah ada pentakhrijan kitab tersebut menjadilah nama kitab Nataijul afkar karangan Ibnu hajar yang bersanad. sehingga kitab al-Adzkar nawawi yang asalnya itu tidak bersanad menjadi bersanad yakni dengan sanadnya Imam ibnu hajar. Termasuk diantaranya kutub al-Ashliyyah yaitu kitab musnad as-Syihab karangan Imam al-Qadaii’ yang mana beliau menamainya dengan kitab as-Syihab. Di dalam kitab ini menerangkan beberapa hukum nabawiyyah, dan hadits – hadits yang patut untuk dijadikan sebagai contoh yang umum. Kitab as-Syihab yang dikarang oleh Imam al-Qadhaii ini pada dasarnya adalah kitab tampa bersanad kemudian beliau sendiri mengarang kitab ini dengan menjadikan kitab yang bersanad dan beliau menamainya dengan kitab musnad as- syihab.
Diantara kutub al-Asyliyyah yaitu kitab al-firdaus karangan Imam ad-Dilami yang asalnya tanpa bersanad, namun putra dari pengarang ini mensanadkan hadis-hadis kitab ayahnya dan putra beliau meriwayatkannya sampai pada Nabi Muhammad SAW, setelah itu kitab ini dinamai dengan kitab musnad al-Firdaus karangan Abu manshur syahradar Ibnu syairawih ad-Dailami yang asal karangan ayahnya tidak bersanad kemudian menjadi kitab yang bersanad[13].
D.    Metode Takhrij Al-hadits
            Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadits, terlebih dahulu ia harus mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Pertama yang perlu di maklumi adalah bahwa teknik pembukuan buku-buku hadits yang telah dilakukan para ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macam- macamnya. Di antaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadits didasarkan pada tema-tema tertentu seperti kitab Al- Jami Ash-Shahih li Al-Bukhori dan sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada huruf permulaan matan hadits diurutkan sesuai dengan alphabet Arab seperti kitab Al-Jami Ash-Shaghir karya As- Suyuthi dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada[14].
            Karena banyaknya teknik dalam pengkodifikasian buku hadits, maka sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadits yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penulusuran hadits dari sumber buku hadits yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafdzi), Takhrij dengan tema (bi al-maudhui), takhrij dengan permulaan Matan (bi Awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusus atau sanad hadits. Mari kita praktekkan satu – persatu di perpustakaan :
1.      Takhrij dengan kata (bi al-lafzhi)
Metode takhrij pertama ini penulusuran hadits melalui kata/lafal matan hadits baik dari permulaan, pertengahan, dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah adalah Kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadits An-Nabawi yang disusun A.j. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid.
Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (kalimah isim) atau kata kerja (kalimah fi’il) bukan kata sambung (kalimah huruf) dalam bahasa Arab yang mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain kata sambung/ kalimah huruf kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa Arab yang hanya tiga huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa Arab yang hanya tiga huruf yang disebut dengan fiil tsulatsi. Jika kata dalam teks hadis yang dicari kata: مسلم  misalnya, maka harus dicari asal akar katanya yaitu dari kata : سلم setelah itu baru membuka kamus bab س bukan bab م. Demikian juga jika kata yang dicari itu kata: يلتمس maka akar katanya adalah: لمس kamus yang dibuka adalah bab ل bukan bab ي dan begitu seterusnya[15].
Kamus yang digunakan mencari hadis adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras li-Alfazh Al-Hadits An-Nawawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, disusun oleh tim orientalis di antaranya adalah Arnold JohnWensinck atau disingkat A.J.Wensinck (w.1939M) seorang profesor bahasa-bahasa Semit termasuk bahasa Arab di lafal dan penggalan matan hadis, serta mensistimatisasikannya dengan baik berkat kerja sama dengan Muhammad Fuad Abdul Baqi. Untuk kegiatan takhrij dalam arti kegiatan penelusuran hadis dapat diketahui melalui periwatan dalam kitab-kitab yang ditunjukkannya[16]. Lafal-lafal hadis yang dimuat dalam kitab Al-Mu’jam ini bereferensi pada kitab induk hadis sebanyak 9 kitab yaitu sebagai berikut :
a)      Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang :خ
b)      Shahih Muslim dengan lambang: م
c)      Sunan Abu Dawud dengan lambang:د
d)     Sunan At-Tirmidzi dengan lambang:ت
e)      Sunan An-Nasa’I dengan lambang :ن
f)       Sunan Ibnu Majah dengan lambang :جه
g)      Sunan Ad-darimi dengan lambang :دي
e)  Muwatha’ Malik dengan lambang :ط
f)  Musnad Ahmad dengan lambang :حم
Contoh hadis yang ingin ditakhrij :
لا تدخلون الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا
Pada penggalan teks diatas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi. Andaikata dari kata تحابو   dapat  dilihat bab ح dalam kitab Al-mu’jam karena kata itu berasal dari kata حبب. Setelah ditelusuri kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam juz 1 hlm.408 dengan bunyi :
م إيمان 93, أدب, 131. ت صفة القيامة 54, إستئذن 1, جه مقدمة 9, أدب 11, حم 1, 165
Maksud ungkapan diatas adalah :
93 إيمان م = Shahih Muslim kitab iman nomor urut hadits 93
131 أدب  د = Sunan Abu Dawud kitab Al-Adab nomor urut bab 131.
صفة القيامة 54 ,إستئذان1 ت = Sunan At-Tirmidzi kitab sifah al- qiyamah nomor urut bab 54 dan kitab isti’dzan nomor urut bab1
جه مقدمة 9, ادب 11 = Sunan Ibnu Majah kitab Mukadimah nomor urut bab 9 dan kitab Al-Adab nomor urut bab 11.
حم 1, 165  = Musnad Imam Ahmad bin Hanbal juz 1 hlm. 165.
       Pengertian nomor-nomor dalam Al-Mu’jam secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Semua angka sesudah nama-nama kitab atau bab pada Shahih Al-Bukhori Sunan Abu Dawud, sunan At-tirmidzi, Sunan An-Nasa’I, sunan Ibnu Majah dan sunan ad-Darimi menunjukkan angka bab bukan angka hadis.
b.      Semua angka sesudah nama-nama kitab atau bab pada shahih Muslimdan muwataha’ Malik menunjukkan angka urut hadis bukan angka bab.
c.       Dua angka yang ada pada kitab Musnad Ahmad angka yang lebih besar menunjukkan angka juz kitab dan angka sesudahnya atau angka yang biasa menunjukkan halaman. Hadis Musnad Ahmad yang berada di dalam kotak bukan yang di pinggir atau diluar kotak.
       Al-Mu’jam hanya menunjukkan tempat hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis sebagaimana diatas. Maka tugas peneliti berikutnya menelusuri Hadis tersebut ke dalam berbagai kitab hadis sesuai dengan petunjuk Al-Mu’jam untuk dihimpun dan dianalisis perbandingan[17].
       Metode takhrij dengan laladz ini mepunyai kelebihan dan kekurangan. Dintara kelebihannya adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang diingat peneliti tidak harus dihapal seluruhnya dan dalam beberapa kitab hadis. Sedangkan di antara kesulitannya adalah seorang peneliti harus menguasai Ilmu Sharaf tentang asal usul suatu kata.
2.      Takhrij dengan tema (bi al-mawdhui)
       Arti takhrij kedua ini adalah penelusuran hadis yang didasarkan pada topic (mawdhui), misalnya bab Al-Khatam, Al-Khadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peneliti hendaknya sudah mengetahui topic suatu hadis kemudian ditelusuri melalui kamus hadis tematik[18]. Salah satu kamus hadis tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya bebahasa Inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A.J.Wensink pula. Dalam kamus Hadis ini dikemukakan berbagai topic baik berkenaan dengan petunjuk – petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topic biasanya disertakan subtopic dan untuk setiap sub topik dikemukakan data hadis dan kitab yang menjelaskannya[19].
       Kitab – kitab yang menjadi referensi kamus Miftah tersebut sebanyak 14 kitab lebih banyak dari pada Takhrij bi Al-Lafzi di atas yaitu 8 kitab sebagaimana di atas ditambah 6 kitab lain. Masing-masing diberi singkatan yang spesifik yaitu sebagai berikut :
a)      Shahih Al-Bukhori dengan diberi lambang : بخ
b)      Shahih Muslim dengan lambing :مس
c)      Sunan Abu dawud dengan lambing :بد
d)     Sunan At- Tirmidzi denagn lambing :تر
e)      Sunan An-Nasa’I dengan lambing :نس
f)       Sunan Ibnu majah dengan lambang :مج
g)      Sunan Ad-Darimi dengan lambang :مي
h)      Muwaththa’ Malik dengan lambang :ما
i)        Musnad Ahmad dengan lambang :حم
j)        Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi :ط
k)      Musnad Zaid bin Ali :ز
l)        Sirah Ibnu Hisyam :هش
m)    Maghazi  Al- Waqidi :قد
n)      Thabaqat Ibnu Sadin : عد 
Kemudian arti singkatan – singkatan lain yang dipakai dalam kamus ini  adalah sebagai berikut :
a)      Kitab = ك
b)      Hadis =  ح
c)      Juz = ج
d)     Bandingkan (qobil) = قا
e)      Bab = ب
f)       Shahifah= ص
g)      Bagian( qismun)= ق
Misalnya ketika ingin men-takhrij hadis :
صلاة اليل مثنى مثنى
       Hadis tersebut temanya shalat malam (Shalat al-layl). Dalam kamus miftah dicari pada bab Al-Layl tentang shalat malam yaitu dihalaman 430. Di sana dicantumkan sebagai berikut :
بخ-ك 8 ب 84, ك145ب 1, ك 19ب 10
مس – ك 6 ح 145 – 148
بد – ك 5 ب 24
تر – ك 2 ب 206
مج – ك 2 ب 155 , 21
ما – ك 7 ح 7, 13
ما – ك 7 ح 7, 13
حم –ثان ص 5, 9, 10
Maksudnya hadis tersebut adanya dalam :
Al-Bukhori, nomor urut kitab 8 dan nomor urut bab 84, nomor urut kitab 145, nomor urut bab 1, nomor urut kitab 19 dan nomor urut bab 10.
Muslim, nomor urut kitab 6 dan nomor urut hadis 145- 148.
Abu Dawud, nomor urut kitab 5dan nomor urut bab 24.
At-Tirmidzi, nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 206.
Ibnu Majah, nomor urut kitab 5dan nomor urut bab 172.
Ad- darimi nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 155 dan 21.
Muwaththa’ Malik, nomor urut kitab 7 dan nomor urut hadis 7 dan 13.
Ahmad, juz 2 halaman.5,9, dan 10.
       Diantara kelebihan metode ini, peneliti mengetahui makna hadis saja tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan teks hadis, tidak perlu harus menguasai asal usul akar kata dan tidak perlu juga mengetahui sahabat yang meriwayatkannya. Di samping itu peneliti terlatih berkemampuan menyingkap makna kandungan hadis. Sedang diantara kesulitannya adalah terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadis atau kemungkinan hadis memiliki topik berganda[20].
3.      Takhrij dengan Permulaan Matan (bi awwal al-matan)
       Takhrij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada bab ba dan seterusnya. Takhrij seperti ini di antaranya dengan menggunakan kitab Al-jami’ Ash-Shaghir Atau Al-Jami’ Al-kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, karya Ibnu Al-Atsir.
       Kitab Al-jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’ Ash-Shaghir fi Ahadits Al-Basyir An-Nadzir, salah satu kitab karangan As-Suyuthi (w.911 H). Dia seorang ulama hadis yang memiliki gelar Al-Musnid (gelar keahlian meriwayatkan hadis beserta sanadnya) dan Al-Muhaqqiq (peneliti) dan hapal 200.999 hadis[21]. Sebuah kitab yang menghimpun ribuan hadis yang terpilih dan yang singkat-singkat dipetik dari kitabnya yang besar jam’u al- jawami’[22], terdiri dua juz susunan hadis kitab ini sesuai dengan urutan alphabet Arab alif, ba, ta, tsa, ja, ha, kha dan seterusnya….jika seorang peneliti ingin mencari hadis melalui kitab ini harus ingat huruf apa permulaan hadisnya, kemudian membuka kitab tersebut pada bab yang sesuai dengan huruf permulaan tersebut.
       Misalnya ketika ingin mencari hadis yang populer di tengah – tengah santri dan mahasiswa :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
            Kita buka kitab Al-Jami’ Ash- Shaghir bab ط kita temukan pada juz 2 hlm. 54 ada 4 tempat periwayatan disebutkan yaitu sebagai berikut :
طلب العلم فريضة على كل مسلم ) عد هب ) عن انس (طص خط) عن الحسين بن علي (طس) عن ابن عباس, تمام عن ابن عمر (طب) عن إبن مسعود (خط) عن علي (طس هب) عن أبي سعيد (صح)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، وواضع العلم عند غير أهله
كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (ه) عن أنس (ض)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، وإن طالب العلم يستغفر له كل شئ حتى الحيتان في البحر, إبن عبد البر في العلم عن أنس (صح)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، والله يحب إغاثة اللهفان (هب) إبن عبد البر في العلم عن أنس (صح).
Keterangan lambang – lambang di atas :
    a.هب ) عد( =  Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil
    b. (طص خط)= Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir, خط = Al-Khathib
    c. (طس)= Ath-Thabarani dalam Al-Awsath
    d.(طب) = Ath-Thabarani dalam Al- kabir
    e.صح) )= Hadis Shahih
    f. )=Ibnu Majah
    g. (ض)= Hadis Dhaif
    h.  (صح) =Hadis Shahih
    i. هب)) = Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.
    j. (صح) =  Hadis Shahih
        Dari hasil takhrij di atas ditemukan bahwa seluruh hadis hanya menyebutkan sampai مسلم tidak ada yang menyebutkan ومسلمة akan tetapi yang beredar selalu menyebutkan seperti itu, mungkin ada rujukannya asal dalam kitab hadis yang dapat dipedomani. Kualitasnya shahih 3 tempat dan yang satu dha’if.
        Lambang –lambang singkatan sebagaimana di atas mempunyai makna dan telah dijelaskan oleh penyusunnya As-Suyuthi dalam Mukadimahnya, bagi yang ingin mengetahui secara menyeluruh dapat buka kitab Al-Jami’ Ash-Saghir bab Mukaddimah.
       Di antara kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara utuh atau keseluruhan tidak penggalan saja sebagaimana metode-metode sebelunya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang yang tidak ingat permulaan hadis. Khawatir hadis yang diingat itu sebenarnya penggalan dari pertengahan atau akhiran hadis bukan permulaannya[23].
4.      Takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-ala).
       Takhrij ini menelusuri hadis melalui sanad yang pertama atau yang paling atas yakni para sahabat (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam hadis mursal). Berarti peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya di kalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam buku hadis Musnad, atau Al-Athraf. Diantara  kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Musnad atau Al-Athraf. Seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Tuhfat As-Asyraf bi Ma’rifat Al-Athraf karya Al-Mizzi dan lain-lain. Kitab Musnad adalah pengkodifikasian hadis yang sistematikanya didasarkan pada nama – nama sahabat atau nama- nama tabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu[24]. Sedangkan Al-Athraf adalah kitab hadis yang menghimpun beberapa hadisnya para sahabat atau tabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafal hadis.
Adapun manfaat dari kitab Athraf, antara lain adalah:
1.      Memberi informasi tentang berbagai sanad hadits yang berbeda-beda secara keseluruhan dalam satu tempat. Dengan demikian dapat diketahui dengan mudah apakah Hadits itu gharib, aziz, atau masyhur;
2.      Memberikan informasi tentang siapa saja di antara para penyusun kitab- kitab hadits yang meriwayatkannya dan dalam bab apa  mereka mencantumkan; dan
3.      Memberikan informasi tentang jumlah hadits setiap sahabat yang diriwayatkan Hadits dalam kitab-kitab yang dibuat athraf-nya[25].
       Mengingat kitab athraf ini hanya menyebutkan sebagian matan hadits, maka untuk mengetahuinya secara lengkap masing- masing perlu merujuk kepada kitab sumber yang ditunjukkan oleh kitab athraf tersebut.
       Cukup banyak kitab Musnad pada awal abad kedua Hijriyah, di antaranya yang sangat populer adalah Musnad Ahmad bin hanbal (w.241 H). Sesuai dengan masa perkembangannya latar belakang penulisannya agar mudah dihapal, beberapa hadis dikelompokkan berdasarkan pada sahabat yang meriwayatkannya. Kitab ini memuat sekitar 30.000 hadis sebagian pendapat 40.000 buah hadis secara terulang-ulang (mukarrar) sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya tidak di sesuaikan dengan urutan alphabet Arab, tetapi didasarkan pada sifat-sifat tertentu, yakni pertama sepuluh orang sahabat Nabi yang digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad sahabat ahli bait, musnad sahabat-sahabat yang populer, musnad sahabat dari Mekkah (Al-Makiyyin),dari syam (Ash-Syammiyyin), dari kufah, Bashrah, sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Bagaimana  Mentakhrij sebuah hadis berikut dalam musnad Ahmad :
عن أنس بن مالك قال أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة
       Sahabat perawi sudah diketahui yaitu Anas bin Malik, terlebih dahulu Nama Anas itu dilihat pada daftar isi (mufahras) sahabat pada awal kitab Musnad, maka didapati adanya sahabat Anas pada juz 3 h. 98. Bukalah persatu hadis yang ingin dicari sampai ditemukan, maka ditemukan pada halaman 103. Dari pentakhrijan ini dapat dikatakan : Hadis tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz 3 h. 103.
        Diantara kelebihan metode takhrij ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca dengan dengan pen-takhrij hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode lain hanya memberikan informasi kedekatan dengan pentakhrijnya saja tanpa kitabnya. Sedang kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwayatkannya, di samping campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak terfokus pada satu masalah[26].
       5) Metode takhrij melalui pengetahuan tentang Sifat khusus atau sanad Hadits.
            Yang dimaksud[27] dengan metode takhrij ini, ialah memerhatikan keadaan-keadaan dan Sifat Hadits, baik dalam matan maupun sanadnya, kemudian mencari asal hadits-hadits itu dalam kitab-kitab yang[28] khusus mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai keadaan atau sifat tersebut[29], baik dalam matan maupun sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah kedaan atau sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad, dan selanjut-nya yang ada pada matan, kemudian yang ada kedua-duanya.
a)      Matan
            Apabila pada matan hadits itu tampak tanda-tanda ke-maudhu’an, baik karena rendahnya bahasa atau karena secara jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sahih, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal Hadits itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits maudhu’. Dalam kitab ini akan diterangkan dengan jelas hal tersebut[30]. Kitab semacam ini adalah yang disusun secara alfabetis, antara lain “ kitab al-Mashnu’fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudhu’ li al-Syaikh ‘ila al-Qari’ al-harawi. “Dan ada pula yang secara tematis, antara lain; kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syafiah al-Mawdhu’al-li al-kanani[31].
            Apabila Hadits yang akan di-takhrij itu termasuk Hadits Qudsi, maka sumber yang paling mudah untuk mencarinya adalah kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits Qudsi secara tersendiri, antara lain:”kitab Misykah al-Anwar fina Ruwiya’an Allah SAT, min al Akbar li Ibn Arabi”. Kitab ini mengumpulkan 101 Hadits lengkap dengan sanadnya. Dan kitab al-Ittihafat al-Saniyyah bil-ahaadits al-Qudsiyyah karangan syekh Abdur-Rouf al-Manawi, beliau mengumpulkan 272 hadits tanpa sanad dan menyusun huruf secara alfabethis[32].
b)      Sanad
       Apabila di dalam sanad suatu Hadits ada ciri tertentu, misalnya isnad itu mursal, maka Hadits itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits mursal, seperti:”al-Marasil li Abi Hatim Abd al-Rahman bin Muhammad al-Handhali al-Razi”, atau mungkin ada seseorang perawi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab”Mizan al-I’tidal li al-Dzahabi”[33].
c)       dan sanad
       Ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanadnya, misalnya:ada illah(cacat) atau ibham (samar-samar). Maka untuk mencari Hadits-hadits semacam itu, yaitu:
a.       I’lal al-hadits li Ibn Abi Hatim al-Razi.
Kitab ini tersusun dari beberapa bab, menyebutkan hadits – hadits yang terkena ‘ilat didalam bab tersebut dan sekaligus menjelaskannya[34].
b.      Al-Mustafad min Mubhamat al-Matan wa al-Isnad Ali Abi Zar’ah Ahmad bin Abd al-Rahim al-‘Iraqi[35].
E. Mengenal Takhrij Hadis Digital
Melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah SAW, mempunyai banyak faedah dan manfaat. Ulama-ulama terdahulu telah menunjukkan kelasnya yang luar biasa sebagai intelektual-intelektual hadits dalam menghimpun, meneliti dan melakukan telaah terhadap ribuan Hadits Nabi SAW yang diabadikan dalam karya-karya mereka, dan merupakan khazanah ilmu pengetahuan ummat islam khususnya di bidang hadits. Seiiring dengan perkembangan zaman, meminjam istilah A. Hasan Asy’ari Ulama’i “kesibukan dunia ilmu pengetahuan” yang kemudian memberikan inspirasi kepada para scientis berupaya melakukan inovasi-inovasi dalam memudahkan penelusuran hadits secara lebih efektif dan efisien. Ulama-ulama Muta’akhirin selanjutnya melakukan terobosan dengan memberikan “sentuhan teknologi” dalam melakukan takhrij hadits melalui perangkat CD hadits yang telah di desain sedemikian rupa.
Berikut ini penulis akan menggambarkan secara ringkas langkah-langkah takhrij hadits digital yang penulis kutip dari A. Hasan Asy-ari al-Ulama’i (2006: 79-80) dalam bukunya “Melacak Hadits Nabi SAW, Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital”. Berikut ini adalah langkah-langkahnya :
  1. Penelusuran hadits dengan menggunakan CD Hadits Nabi SAW, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara: (sebagai catatan bahwa terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab rujukan yang dikehendaki, dalam hal ini CD Hadits yang tersedia membatasi pada 9 kitab hadits al-mu’tabar yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, jami’ al-Turmudzi, Sunan abi Dawud, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.
  2. Penelususran hadits berangkat dari lafadz yang dikenal, contoh mencari hadits yang di dalamnya terdapat lafadz (وقنت رسول الله) maka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui fasilitas pilihan huruf yang telah disediakan CD Hadits, atau dengan menuliskan sendiri lafadz itu pada tempat yang telah disediakan.
  3. Penelusuran Hadits Nabi SAW, berangkat dari bab yang umumnya memuat hadits tersebut, misalnya dibuka di bab qunut itu sendiri, bila tidak dijumpai, maka dapat diakses pada bab shalat, demikian seterusnya.
  4. Penelusuran hadits berangkat dari rawi yang paling atas, dalam hal ini lebih rumit karena harus mencari lebih detail haditsnya, misalnya hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang tidak hanya berbicara masalah qunut saja, tetapi bercampur dengan hadits-hadits tema lainnya.
  5. Penelusuran melalui nomor hadits, dan
  6. Penelusuran hadits melalui tema-tema yang disediakan CD hadits Nabi SAW, itu sendiri.
F.Contoh penerapan Metode takhrij Al-hadits
            Dalam hal ini penulis makalah membuat salah satu contoh penerapan metode takhrij al-Hadits, dengan menggunakan metode yang pertama, yaitu “metode takhrij al-Hadist melalui pengetahuan salah satu lafadz hadis”. Cara-cara lainnya dapat dikembangkan sendiri. Perbedaannya hanya terletak pada kitab rujukannya.
Misalnya : kita ingin mencari lafadz hadis tentang اللقطة (barang temuan) secara lengkap dan meneliti kualitas sanadnya. Dengan mengingat secuil lafadz اللقطة kita dapat melacak lewat kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Nabawi oleh A.J. Wensink. Karena kitab ini disusun menurut urutan alfabetis, maka kita bisa mencarinya pada huruf lam untuk lafadz اللقطة. Dengan mencari lafadz tersebut pada kitab al-Mu’jam , maka akan ditemukan kode, antara lain :
حم,192, 5,116,4,ط اقضية 46
Yang berarti :
1.       Hadist tentang اللقطة itu dapat ditemukan dalam kitab Musnad Ahmad Ibnu Hanbal Juz 4 halaman 16; atau pada juz V halaman 193.
2.      Hadits tentang اللقطة itu dapat ditemukan pada hadits Nomor 46 tentang “Aqdhiyah” di dalam kitab Muwaththa” oleh Imam Malik.
       Adapun bunyi hadist selengkapnya tentang اللقطة tersebut, baik di dalam kitab Musnad Ahmad bin hanbal maupun di dalam kitab Muwaththa’Malik adalah sebagai berikut :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن إسماعيل بن أبي فديك حدثني الضحاك بن عثمان عن أبي النضر مولى عمر بن عبيد الله عن بسر بن سعيد عن زيد بن خالد الجهني أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن اللقطة فقال عرفها سنة فإن جاء باغيها فأدها إليه وإلا فاعرف عفاصها ووكاءها ثم كلها فإن جاء باغيها فأدها إليه.
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya”al-Muwaththa”
حدثني مالك عن ربيعة بن أبي عبد الرحمن عن يزيد مولى المنبعث عن زيد بن خالد الجهني انه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فسأله عن اللقطة فقال اعرف عفاصها ووكاءها ثم عرفها سنة فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها قال فضالة الغنم يا رسول الله قال هي لك أو لأخيك أو للذئب قال فضالة الإبل قال مالك ولها معها سقاؤها وحذاؤها ترد الماء وتأكل الشجر حتى يلقاها ربها.
       Rangkaian sanad Hadis diatas, baik yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal maupun Imam malik, bila digambarkan sebagai berikut :

Daftar pustaka
Ma’luf Louis, al-Munjid fi al-A’lam,(Beirut: Dar al-Masyariq, 1986).
Qasimi Al-, Qawa’id al-Tahdits Min Funun Mushthalahat al-Hadits, (Isa al-Babi al-Halabi Wa Syurakah, 1961).
Auni, Dr.Hatim bin a’rif al-, at-Takhrij Wa Dirosah al- Asanid, Multaqi Ahlil Hadits, Maktabah syamilah.
Dr.H.Abdul majid khon., Ulumul hadis, Jakarta: Sinar Grafika Offset,Cetakan  kedua,th.2009, hlm. 118-119.
Thahhan Mahmud Al-, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Maa’rif, 1991).
Muhdi bin Abdul Qadir, Abdul, Thuruq Takhrij Hadits Rosulullah SAW. (Cairo: Dar al-I’tisham, 1987).
Suyuthi, Jalaluddin  Abdurrahman  Ibnu  Abi Bakar  As-, Al-Jami’ Ash-Shaghir, jilid 11,(Surabaya: Al-hidayah),

 http://ainuly90.blogspot.com/2012/04/takhrijul-hadits.html