Terdapat
12 pasang syaraf kranial dimana beberapa diantaranya adalah serabut
campuran, yaitu gabungan syaraf motorik dan sensorik, sementara lainnya
adalah hanya syaraf motorik ataupun hanya syaraf sensorik.
1. Nervus Olfaktorius/N I (sensorik)
Nervus
olfaktorius diperiksa dengan zat-zat (bau-bauan) seperti : kopi, teh
dan tembakau. Pada pemeriksaan ini yang perlu diperhatikan adalah adanya
penyakit intranasal seperti influenza karena dapat memberikan hasil
negatif atau hasil pemeriksaan menjadi samar/tidak valid.
Cara
pemeriksaan : tiap lubang hidung diuji terpisah. Pasien atau pemeriksa
menutup salah satu lubang hidung pasien kemudian pasien disuruh mencium
salah satu zat dan tanyakan apakah pasien mencium sesuatu dan tanyakan
zat yang dicium. Untuk hasil yang valid, lakukan dengan beberapa
zat/bau-bauan yang berbeda, tidak hanya pada 1 macam zat saja.
Penilaian
: Pasien yang dapat mengenal semua zat dengan baik disebut daya cium
baik (normosmi). Bila daya cium kurang disebut hiposmi dan bila tidak
dapat mencium sama sekali disebut anosmi.
2. Nervus Optikus/N II (sensorik)
Kelainan-kelainan
pada mata perlu dicatat sebelum pemeriksaan misalnya : katarak, infeksi
konjungtiva atau infeksi lainnya. Bila pasien menggunakan kaca mata
tetap diperkenankan dipakai.
a. Ketajaman penglihatan
Pasien
disuruh membaca buku dengan jarak 35 cm kemudian dinilai apakah pasien
dapat melihat tulisan dengan jelas, kalau tidak bisa lanjutkan dengan
jarak baca yang dapat digunakan klien, catat jarak baca klien tersebut.
Pasien
disuruh melihat satu benda, tanyakan apakah benda yang dilihat
jelas/kabur, dua bentuk atau tidak terlihat sama sekali /buta.
b. Lapangan penglihatan
Cara
pemeriksaan : alat yang digunakan sebagai objek biasanya jari
pemeriksa. Fungsi mata diperiksa bergantian. Pasien dan pemeriksa duduk
atau berdiri berhadapan, mata yang akan diperiksa berhadapan sejajar
dengan mata pemeriksa. Jarak antara pemeriksa dan pasien berkisar 60-100
cm. Mata yang lain ditutup. Objek digerakkan oleh pemeriksa pada bidang
tengah kedalam sampai pasien melihat objek, catat berapa derajat lapang
penglihatan klien.
3. Nervus Okulomotorius/N III (motorik)
Merupakan nervus yang mempersarafi otot-otot bola mata ekstena, levator palpeora dan konstriktor pupil.
Cara pemeriksaan :
Diobservasi
apakah terdapat edema kelopak mata, hipermi konjungtiva,hipermi
sklerata kelopak mata jatuh (ptosis), celah mata sempit (endophthalmus),
dan bola mata menonjol (exophthalmus).
4. Nervus Trokhlearis/N IV (motorik)
Pemeriksaan
pupil dengan menggunakan penerangan senter kecil. Yang diperiksa adalah
ukuran pupil (miosis bila ukuran pupil < 2 mm, normal dengan ukuran
4-5 mm, pin point pupil bila ukuran pupil sangat kecil dan midiriasis
dengan ukuran >5 mm), bentuk pupil, kesamaan ukuran antara kedua
pupil (isikor / sama, aanisokor / tidak sama), dan reak pupil terhadap
cahaya (positif bila tampak kontraksi pupil, negative bila tidak ada
kontraksi pupil. Dilihat juga apakah terdapat perdarahan pupil
(diperiksa dengan funduskopi).
5. Nervus Trigeminus/N V (motorik dan sensorik)
Merupakan
syaraf yang mempersarafi sensoris wajah dan otot pengunyah . Alat yang
digunakan : kapas, jarum, botol berisi air panas, kuliper/jangka dan
garpu penala.
Sensibilitas wajah.
Rasa raba : pemeriksaan
dilakukan dengan kapas yang digulung memanjang, dengan menyentuhkan
kapas kewajah pasien dimulai dari area normal ke area dengan kelainan.
Bandingkan rasa raba pasien antara wajah kiri dan kanan.
Rasa
nyeri : dengan menggunakan tusukan jarum tajam dan tumpul. Tanyakan
pada klien apakah merasakan rasa tajam dan tumpul. Dimulai dari area
normal ke area dengan kelainan.
Rasa suhu : dengan cara yang sama
tapi dengan menggunakan botol berisi air dingin dan air panas, diuji
dengan bergantian (panas-dingin). Pasien disuruh meyebutkan panas atau
dingin yang dirasakan
Rsa sikap : dilakukan dengan menutup kedua mata pasien, pasien diminta menyebutkan area wajah yang disentuh (atas atau bawah)
Rasa gelar : pasien disuruh membedakan ada atau tidak getaran garpu penala yang dientuhkan ke wajah pasien.
a. Otot mengyunyah
Cara
periksaan : pasien disuruh mengatup mulut kuat-kuat kemudian dipalpasi
kedua otot pengunyah (muskulus maseter dan temporalis) apakah
kontraksinya baik, kurang atau tidak ada. Kemudian dilihat apakah posis
mulut klier. Simetris atau tidak, mulut miring.
6. Nervus Abdusens/N VI (motorik)
Fungsi
otot bola mata dinilai dengan keenam arah utama yaitu lateral. Lateral
atas, medial atas, medial bawah, lateral bawah, keatas dan kebawah.
Pasien disuruh mengikuti arah pemeriksaan yang dilakukan pemeriksa
sesuai dengan keenam arah tersebut. Normal bila pasien dapat mengikuti
arah dengan baik. Terbatas bila pasien tidak dapat mengikuti dengan baik
karena kelemahan otot mata, ninstagmus bila gerakan bola mata pasien
bolak balik involunter.
7. Nervus Fasialis/N VII (motorik dan sensorik)
Cara
pemeriksaan : dengan memberikan sedikit berbagai zat di 2/3 lidah
bagian depan seperti gula, garam dan kina. Pasien disuruh menjulurkan
lidah pada waktu diuji dan selama menentukan zat-zat yang dirasakan
klien disebutkan atau ditulis dikertas oleh klien.
8. Nervus Akustikus/N VIII (sensorik)
1. Pendengaran : diuji dengan mendekatkan, arloji ketelinga pasien di
ruang yang disunyi. Telinga diuji bergantian dengan menutup salah
telinga yang lain. Normal klien dapat mendengar detik arloji 1 meter.
Bila jaraknya kurang dari satu meter kemungkinan pasien mengalami
penurunan pendengaran.
2. Keseimbangan : dilakukan dengan
memperhatikan apakah klien kehilangan keseimbangan hingga tubuh
bergoyang-goyang (keseimbangan menurun) dan normal bila pasien dapat
berdiri/berjalan dengan seimbang.
9. Nervus Glosso-faringeus/N IX (motorik dan sensorik)
Cara
pemeriksaan dengan menyentuhkan tongs patel keposterior faring pasien.
Timbulnya reflek muntah adalah normal (positif), negative bila tidak ada
reflek muntah.
10. Nervus Vagus/N X (motorik dan sensorik)
Cara
pemeriksaan : pasien disuruh membuka mulut lebar-lebar dan disuruh
berkata ‘aaah’ kemudian dilihat apakah terjadi regurgitasi kehidung. Dan
observasi denyut jantung klien apakah ada takikardi atau brakardi.
11. Nervus Aksesorius/N XI (motorik)
Cara
pemeriksaan : dengan menyuruh pasien menengok kesatu sisi melawan
tangan pemeriksa sedang mempalpasi otot wajah Test angkat bahu dengan
pemeriksa menekan bahu pasien ke bawah dan pasien berusaha mengangkat
bahu ke atas. Normal bila klien dapat melakukannya dengan baik, bila
tidak dapat kemungkinan klien mengalami parase.
12. Nervus Hipglosus (motorik)
Cara
pemeriksaan : pasien disuruh menjulurkan lidah dak menarik lidah
kembali, dilakukan berulang kali. Normal bila gerakan lidah
terkoordinasi dengan baik, parese/miring bila terdapat lesi pada
hipoglosus.
Ø Sensibilitas.
Syarat pemeriksaan : pasien
harus sadar dan kooperatif, perlu diterangkan kepada pasien maksud, cara
dan respon yang diharapkan dan dilakukan dengan rileks.
Alat pemeriksaan : kapas, jarum, botol berisi air dingin dan air panas, garpu penala dan kaliper/jangka.
Sensibilitas permukaan dan dalam :
Rasa
raba, rasa nyeri dan rasa suhu, rasa getar rasa sikap, cara
pemeriksaanya sama dengan cara pemeriksaan sensibilitas wajah di atas.
Hanya dilakukan pada seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari.
Ø Koordinasi
a. Test hidung-jari hidung
Dilakukan
dengan cara : pasien dengan menggunakan jari telunjuknya menyentuhkan
jari telunjuk tersebut kejari pemeriksa kemudian kehidung pasien
sendiri. Dilakukan berulang kali.
b. Test jari-hidung
Dilakukan dengan cara pasien menyentuh hidung dengan kelima jarring secara bergantian.
c. Test pronasi-supinasi
Dilakukan dengan cara pasien mengubah posisi telapak tangannya dengan cepat dengan posisi dan supinasi.
Ø Status Motorik
Diobservasi
bentuk otot pasien apakah ada perubahan bentuk otot normal,
membesar/hipertrofi mengecil/hipotrofi. Dinilai semua otot tubuh klien.
Tonus
otot : diperiksa dengan cara pasien berbaring rileks, perhatiannya
dialihkan dengan mengajak klien bicara sambil pemeriksa mngengkat lengan
klien dalam posisi fleksi pada siku dan tangan secara pasif, kemudian
menjauhkan lengan tersebut. Cara jatuh lengan dinilai. Hipotoni bila
anggota gerak jatuh dengan berat, atau tonus otot
meninggi/hipertoni/spatik. Pemeriksaan ini dilakukan juga pada tungkai
dengan mengangkat tungkai fleksi pada tanggal kemudian dijatuhkan.
Kekuatan otot : Untuk memeriksa kekuatan otot sebaiknya dilakukan satu arah pada sendi dan otot langsung dinilai.
Kekuatan otot dinilai dengan derajat :
Derajat 5 : Kekuatan normal
Seluruh
gerakan dapat dilakukan otot tersebut dengan tahan maksimal dari
pemeriksa yang dilakukan berulang-ulang tanpa terlihat kelelahan.
Derajat 4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan melayang gaya berat dan juga melawan tahanan ringan dan sedang dari pemeriksa.
Derajat
3 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan melawan gaya berat, tetapi
tidak tidak dapat melawan tahanan ringan dan sedang dari pemeriksa.
Derajat 2 : Otot hanya dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan.
Derajat 1 : Kontraksi otot minimal dapat terasa atau teraba pada otot bersangkutan tanpa mengakibatkan gerak
Derajat 0 : Tidak ada kontraksi sama sekali. Parlise total
Kekuatan gerak yang diperiksa : keempat anggota gerak
a. Anggota gerak atas : artikulasi humeri, artikulasi kubiti, artikulasimanus dan artikulasi metakarpoflank.
b. Anggota gerak bawah : artkulasi kokse, artikulasi genus, artikulasi manus dan artikulasi metaka pofalank.
Gaya berjalan : diobservasi dengan menyuruh pasien berjalan mondar- mandir.
Langkah normal : pasien berjalan dengan gaya biasa orang sehat.
Langkah
: pasien berjalan dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi supaya jari kaki
yang masih tertinggal menyentuh tanah dapat terangkat. Kemudian kaki
seolah-olah dijatuhkan ketanah dengan jari lebih dulu menyentuh tanah
sebelum tumit.
Langkah mabuk : pasien berjalan dengan kedua
kakinya terpisah jauh dan waktu, harus berjalan lurus ada kecenderungan
terhuyung kesatu sisi.
Langkah menggeser : Pasien berjalan dengan
langkah pendek-pendek, menyeret tanah hampir-hampir kaki tidak terlepas
dari tanah. Bila langkah makin pendek dan cepat pasien cenderung jatuh.
Langkah
spastik : biasanya terjadi pada hemipare, pasien berjalan dengan
tungkai yang parase dilempar keluar membentuk lingkaran dengan jari kaki
tetap menyentuh tanah.
Gerakan tubuh : diobservasi apakah
normal, tremor/gematar, spasme (adanya ketegangan otot sehingga gerakan
terbatas) atau gerakan tubuh berulang tanpa kendali.
Ø Refleks
Refleks merupakan jawaban motorik dari rangsangan sensorik.
Nilai refleks :
1. Arefleksi merupakan jawaban motorik dari rangsangan sensorik.
2. Hiporefleksi berarti ada kontraksi otot tetapi tidak terjadi gerakan pada sendinya, refleks = +
3. Refleksi normal = +
4. Hiperefleksi bila kontaksi dan gerakan sendi berlebihan, refleks = + +
1. Refleks Tendon
a. Refleksi biseps
Dalam keadaan duduk : lengan bawah dalam pronasi rileks di atas paha
Dalam
keadaan berbaring : lengan ditaruh di atas bantal, lengan bawah dan
tangan di atas abdomen. Taruh ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps,
tekan bila perlu untuk meyakinkan regang otot optimal, sebelum mengetok.
b. Refleks brakioradialis
Posisi
sama dengan refleks biseps. Kecuali lengan bawah harus berada antara
pronasi dan supinasi. Ketok dengan sambil mengamati dan merasakan adanya
kontraksi.
c. Refleks triceps
Posisi hampir sama dengan
refleks biseps. Oleh karena tendon pendek, kadang-kadang sukar mengetok
sejumlah seribu : sekaligus. Sebaiknya pemeriksa melakukan dari arah
samping belakang pasien untuk memeriksa kontraksi. Ketokan dilakukan 5
cm di atas siku.
d. Refleks Lutut / Patela
Dalam posisi duduk : kaki tergantung dan rileks.
Dalam
posisi berbaring : tangan atau lengan bawah pemeriksa ditaruh. Di bawah
lutut pasien, refleksi sendi lutut kira-kira 20 derajat, sedangkan
tumit pasien harus tetap berada di atas tempat tidur. Bila perlu tangan
pemeriksa diganti bantal supaya kontraksi otot disamping terlihat dapat
diraba pula.
Palu refleks diketokan di atas tendon lutut berganti-ganti kanan dan kiri.
e. Refleks archilles
Dalam posisi duduk : sama dengan posisi refleks biseps, kaki dorsoflrkdi optimal untuk mendapatkan regangan otot cukup.
Dalam
posisi berbaring : dilakukan fleksi panggul dan lutut sambil sedikit
rotasi paha keluar ketok tendon tumit/archilles dengan palu refleks.
Respon refleks tendon normal :
Refleks biseps : respon normal berupa fkleksi dari siku dan tampak kontraksi otot biseps
Refleks triseps : ekstensi dari siku dan tampak kontraksi otot triseps
Refleks lutut : gerakan dari tungkai disertai kontraksi otot gastrokmius.
2. Refleks patologik
a. Refleks Babinski
Dengan
sebuah benda yang berujung agak tajam, telapak kaki digores dari tumit
menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari. Positif bila terjadi
dari ibu jari dan biasnya disertai dengan pemekaran jari-jari kaki.
b. Refleks Chaddok
Tanda babinski timbul dengan menggoreskan bagian bawah dari maleous lateral kearah depan.
c. Reflek Oppenheim
Dengan
mengurut tulang tibia dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
mulai dari lutut tengah mulai dari lutut menyusur ke bawah. Positif bila
timbul tanda babinski.
d. Refleks Gordon
Otot gastrokmius/betis ditekan. Positif bila timbul tanda babinski.
Ø Fungsi Luhur
a. Kesadaran
Coma
: keadaan tidak sadar yang terendah. Tidak ada respon terhadap
rangsangan nyeri, refleks tendon, refleks pupil dan refleks batuk
menghilang, inkontinensia urin dan tidak ada aktivitas motorik spontan.
Soporocoma
: keadaan tidak sadar menyerupai koma, tetapi respon terhadap
rangsangan nyeri masih ada,refleks tendon dapat ditimbulkan. Biasanya
masih ada inkontinensia urin dan
belum ada gerakan motorik spontan.
Delirium : keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak,
berteriak-teriak dan tidak sadar terhadap orang lain,
tempat dan waktu.
Somnolen/letargi
: pasien dapat dibangunkan dengan rangsangan dan akan membuat respon
motorik dan verbal yang layak. Pasien akan cepat tertidur lagi bila
rangsangan dihentikan.
Apatis : pasien tampak segan berhubungan dengan sekitarnya, tampak acuh tak acuh.
Compos Mentis : sadar sepenuhnya, dapat menjawab pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya.
Selain cara seperti tersebut diatas, dapat juga digunakan GCS (Glasgow Coma Scale), yang dinilai yaitu :
- Eye/membuka mata (E) :
4 = dapat membuka mata spontan
3 = membuka mata dengan dipanggil/atas perintah
2 = membuka mata bila dirangsang nyeri
1 = selalu tertutup walaupun dirangsang nyeri
- Motorik (M) :
6 = dapat bergerak sesuai perintah
5 = dapat bereaksi menyingkirkan rangsangan nyeri/reaksi setempat
4 = bereaksi fleksi siku pada rangsangan nyeri/menghindar
3
= dengan rangsangan nyeri dapat bereaksi fleksi pada pergelangan tangan
atau jari atau fleksi spastic pada tungkai atau abduksi lengan
atas/fleksi
abnormal
2 = respon ekstensi
1 = tidak bereaksi
- Verbal/bicara (V) :
5 = orientasi baik : orang, tempat, waktu
4 = jawaban kacau
3 = kata-kata tak berarti
2= suara tidak komprehensif
1 = tidak ada suara
b. Reaksi emosi
Dinilai apakah pasien tampak tegang, depresi, cemas, rasa bermusuhan atau emosi uang tidak terkontrol.
c. Fungsi intelektual
Memori : pasien dapat mengingat kembali pengalaman yang dialami
Berhitung : pasien dapat melakukan berhitung pertambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
Persamaan : pasien diminta menjelaskan persamaan benda/keaadaan, misal raja dengan kaisar atau presiden
Pendapat : diminta pendapat pasien tentang beberapa pasien tentang beberapa persoalan yang ada di lingkungannya.
Pengertian : pasien disuruh membaca suatu serita kemudian dapat menjelaskan kembali isi cerita tersebut.
d. Proses pikir
Proses
pikir ini dinilai dari jawaban-jawaban pasien dari pertanyaan pemeriksa
tentang hal-hal di atas. Kemudian disimpulkan apakah isi pikiran pasien
masih baik, kurang atau kelainan.
e. Fungsi psikomotor
Pasien dapat melakukan perintah dengan baik tau terganggu/menurun.
f. Fungsi ekspresif
Yang
dinilai adalah : pasien mampu mengulang kata, kalimat dengan baik,
mampu mengucapkan nama hari, bulan, nama benda, gambar dan dapat
memahami hubungan pengertian dan perkataan missal : ditanyakan ‘dengan
apa kita makan nasi’ dan jawaban pasien yang diharapkan adalah ‘kita
makan nasi dengan sendok garpu’
g. Kemampuan baca tulis
Pasien
mampu membaca dalam hati dan menuliskan kembali apa yang telah
dibacanya. Pasien mampu membaca dengan suara keras dan menerang arti
kalimat, pasien mampu menyalin kata dan kalimat yang diminta pemeriksa,
dapat menulis identitasnya dan melakukan dikte.
Derajat afasia
Derajat 0 : afasia global yaitu pasien tidak dapat bicara ataupun mengerti pembicaraan sama sekali.
Derajat 1 : pembicaraan mengenai soal yang mudah dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksa.
Derajat 2 : pembicaraan mengenai soal yang mudah dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksa
Derajat 3 : pasien dapat membicarakan persoalan sehari-hari dengan sedikit/tanpa bantuan pemeriksa.
Derajat 4 : pasien tampak sukar dalam berbicara tetapi tidak mempengaruhi isi dan pikiran yang dikemukakan.
Derajat 5 : kesukaran bicara tidak tampak nyata, tetapi subyektif pasien mengalami kesukaran.