Rabu, 27 Maret 2013

Prosedur Pemeriksaan Saraf Kranial

Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang mencuat dari otak, berbeda dari saraf spinal yang mencuat dari sumsum tulang belakang. Saraf kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII); 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X). Pasangan saraf-saraf ini diberi nomor sesuai urutan dari depan hingga belakang, lazimnya menggunakan angka romawi

Saraf-saraf ini terhubung utamanya dengan struktur yang ada di kepala dan leher manusia seperti mata, hidung, telinga, mulut dan lidah. Pasangan I dan II mencuat dari otak besar, sementara yang lainnya mencuat dari batang otak.


Berikuta adalah cara pemeriksaan setiap Saraf kranial dalam menentukan suatu diagnosa.

1. Test nervus I (Olfactory)
  • Fungsi penciuman
  • Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
  • Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
2. Test nervus II ( Optikus)
  • Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
  • Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya.
  • Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.
3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
  • Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
  • Test N III (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.
  • Test N IV, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
  • Test N VI, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.
4. Test nervus V (Trigeminus)
  • Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan bawah.
  • Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
  • Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
  • Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.
  • Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.
5. Test nervus VII (Facialis)
  • Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.
  • Otonom, lakrimasi dan salivasi
  • Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk : tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya
6. Test nervus VIII (Acustikus)
  • Fungsi sensoris :
  • Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
  • Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.
7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
  • N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
  • N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
  • Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan tertarik keatas.
  • Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
8. Test nervus XI (Accessorius)
  • Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya.
  • Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan —- test otot trapezius.
9. Test Nervus XII (Hypoglosus)
  • Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
  • Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
  • Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

Sumber Referensi :
- http://andiminhajuddin.wordpress.com/2010/09/12/saraf-kranial

 

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS




Terdapat 12 pasang syaraf kranial dimana beberapa diantaranya adalah serabut campuran, yaitu gabungan syaraf motorik dan sensorik, sementara lainnya adalah hanya syaraf motorik ataupun hanya syaraf sensorik.

1. Nervus Olfaktorius/N I (sensorik)

Nervus olfaktorius diperiksa dengan zat-zat (bau-bauan) seperti : kopi, teh dan tembakau. Pada pemeriksaan ini yang perlu diperhatikan adalah adanya penyakit intranasal seperti influenza karena dapat memberikan hasil negatif atau hasil pemeriksaan menjadi samar/tidak valid.

Cara pemeriksaan : tiap lubang hidung diuji terpisah. Pasien atau pemeriksa menutup salah satu lubang hidung pasien kemudian pasien disuruh mencium salah satu zat dan tanyakan apakah pasien mencium sesuatu dan tanyakan zat yang dicium. Untuk hasil yang valid, lakukan dengan beberapa zat/bau-bauan yang berbeda, tidak hanya pada 1 macam zat saja.

Penilaian : Pasien yang dapat mengenal semua zat dengan baik disebut daya cium baik (normosmi). Bila daya cium kurang disebut hiposmi dan bila tidak dapat mencium sama sekali disebut anosmi.

2. Nervus Optikus/N II (sensorik)

Kelainan-kelainan pada mata perlu dicatat sebelum pemeriksaan misalnya : katarak, infeksi konjungtiva atau infeksi lainnya. Bila pasien menggunakan kaca mata tetap diperkenankan dipakai.

a. Ketajaman penglihatan

Pasien disuruh membaca buku dengan jarak 35 cm kemudian dinilai apakah pasien dapat melihat tulisan dengan jelas, kalau tidak bisa lanjutkan dengan jarak baca yang dapat digunakan klien, catat jarak baca klien tersebut.

Pasien disuruh melihat satu benda, tanyakan apakah benda yang dilihat jelas/kabur, dua bentuk atau tidak terlihat sama sekali /buta.

b. Lapangan penglihatan

Cara pemeriksaan : alat yang digunakan sebagai objek biasanya jari pemeriksa. Fungsi mata diperiksa bergantian. Pasien dan pemeriksa duduk atau berdiri berhadapan, mata yang akan diperiksa berhadapan sejajar dengan mata pemeriksa. Jarak antara pemeriksa dan pasien berkisar 60-100 cm. Mata yang lain ditutup. Objek digerakkan oleh pemeriksa pada bidang tengah kedalam sampai pasien melihat objek, catat berapa derajat lapang penglihatan klien.

3. Nervus Okulomotorius/N III (motorik)

Merupakan nervus yang mempersarafi otot-otot bola mata ekstena, levator palpeora dan konstriktor pupil.

Cara pemeriksaan :

Diobservasi apakah terdapat edema kelopak mata, hipermi konjungtiva,hipermi sklerata kelopak mata jatuh (ptosis), celah mata sempit (endophthalmus), dan bola mata menonjol (exophthalmus).

4. Nervus Trokhlearis/N IV (motorik)

Pemeriksaan pupil dengan menggunakan penerangan senter kecil. Yang diperiksa adalah ukuran pupil (miosis bila ukuran pupil < 2 mm, normal dengan ukuran 4-5 mm, pin point pupil bila ukuran pupil sangat kecil dan midiriasis dengan ukuran >5 mm), bentuk pupil, kesamaan ukuran antara kedua pupil (isikor / sama, aanisokor / tidak sama), dan reak pupil terhadap cahaya (positif bila tampak kontraksi pupil, negative bila tidak ada kontraksi pupil. Dilihat juga apakah terdapat perdarahan pupil (diperiksa dengan funduskopi).

5. Nervus Trigeminus/N V (motorik dan sensorik)

Merupakan syaraf yang mempersarafi sensoris wajah dan otot pengunyah . Alat yang digunakan : kapas, jarum, botol berisi air panas, kuliper/jangka dan garpu penala.

Sensibilitas wajah.

Rasa raba : pemeriksaan dilakukan dengan kapas yang digulung memanjang, dengan menyentuhkan kapas kewajah pasien dimulai dari area normal ke area dengan kelainan.

Bandingkan rasa raba pasien antara wajah kiri dan kanan.

Rasa nyeri : dengan menggunakan tusukan jarum tajam dan tumpul. Tanyakan pada klien apakah merasakan rasa tajam dan tumpul. Dimulai dari area normal ke area dengan kelainan.

Rasa suhu : dengan cara yang sama tapi dengan menggunakan botol berisi air dingin dan air panas, diuji dengan bergantian (panas-dingin). Pasien disuruh meyebutkan panas atau dingin yang dirasakan

Rsa sikap : dilakukan dengan menutup kedua mata pasien, pasien diminta menyebutkan area wajah yang disentuh (atas atau bawah)

Rasa gelar : pasien disuruh membedakan ada atau tidak getaran garpu penala yang dientuhkan ke wajah pasien.

a. Otot mengyunyah

Cara periksaan : pasien disuruh mengatup mulut kuat-kuat kemudian dipalpasi kedua otot pengunyah (muskulus maseter dan temporalis) apakah kontraksinya baik, kurang atau tidak ada. Kemudian dilihat apakah posis mulut klier. Simetris atau tidak, mulut miring.

6. Nervus Abdusens/N VI (motorik)

Fungsi otot bola mata dinilai dengan keenam arah utama yaitu lateral. Lateral atas, medial atas, medial bawah, lateral bawah, keatas dan kebawah. Pasien disuruh mengikuti arah pemeriksaan yang dilakukan pemeriksa sesuai dengan keenam arah tersebut. Normal bila pasien dapat mengikuti arah dengan baik. Terbatas bila pasien tidak dapat mengikuti dengan baik karena kelemahan otot mata, ninstagmus bila gerakan bola mata pasien bolak balik involunter.

7. Nervus Fasialis/N VII (motorik dan sensorik)

Cara pemeriksaan : dengan memberikan sedikit berbagai zat di 2/3 lidah bagian depan seperti gula, garam dan kina. Pasien disuruh menjulurkan lidah pada waktu diuji dan selama menentukan zat-zat yang dirasakan klien disebutkan atau ditulis dikertas oleh klien.

8. Nervus Akustikus/N VIII (sensorik)

1. Pendengaran : diuji dengan mendekatkan, arloji ketelinga pasien di ruang yang disunyi. Telinga diuji bergantian dengan menutup salah telinga yang lain. Normal klien dapat mendengar detik arloji 1 meter. Bila jaraknya kurang dari satu meter kemungkinan pasien mengalami penurunan pendengaran.
2. Keseimbangan : dilakukan dengan memperhatikan apakah klien kehilangan keseimbangan hingga tubuh bergoyang-goyang (keseimbangan menurun) dan normal bila pasien dapat berdiri/berjalan dengan seimbang.

9. Nervus Glosso-faringeus/N IX (motorik dan sensorik)

Cara pemeriksaan dengan menyentuhkan tongs patel keposterior faring pasien. Timbulnya reflek muntah adalah normal (positif), negative bila tidak ada reflek muntah.

10. Nervus Vagus/N X (motorik dan sensorik)

Cara pemeriksaan : pasien disuruh membuka mulut lebar-lebar dan disuruh berkata ‘aaah’ kemudian dilihat apakah terjadi regurgitasi kehidung. Dan observasi denyut jantung klien apakah ada takikardi atau brakardi.

11. Nervus Aksesorius/N XI (motorik)

Cara pemeriksaan : dengan menyuruh pasien menengok kesatu sisi melawan tangan pemeriksa sedang mempalpasi otot wajah Test angkat bahu dengan pemeriksa menekan bahu pasien ke bawah dan pasien berusaha mengangkat bahu ke atas. Normal bila klien dapat melakukannya dengan baik, bila tidak dapat kemungkinan klien mengalami parase.

12. Nervus Hipglosus (motorik)

Cara pemeriksaan : pasien disuruh menjulurkan lidah dak menarik lidah kembali, dilakukan berulang kali. Normal bila gerakan lidah terkoordinasi dengan baik, parese/miring bila terdapat lesi pada hipoglosus.

Ø Sensibilitas.

Syarat pemeriksaan : pasien harus sadar dan kooperatif, perlu diterangkan kepada pasien maksud, cara dan respon yang diharapkan dan dilakukan dengan rileks.

Alat pemeriksaan : kapas, jarum, botol berisi air dingin dan air panas, garpu penala dan kaliper/jangka.

Sensibilitas permukaan dan dalam :

Rasa raba, rasa nyeri dan rasa suhu, rasa getar rasa sikap, cara pemeriksaanya sama dengan cara pemeriksaan sensibilitas wajah di atas. Hanya dilakukan pada seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari.

Ø Koordinasi

a. Test hidung-jari hidung

Dilakukan dengan cara : pasien dengan menggunakan jari telunjuknya menyentuhkan jari telunjuk tersebut kejari pemeriksa kemudian kehidung pasien sendiri. Dilakukan berulang kali.

b. Test jari-hidung

Dilakukan dengan cara pasien menyentuh hidung dengan kelima jarring secara bergantian.

c. Test pronasi-supinasi

Dilakukan dengan cara pasien mengubah posisi telapak tangannya dengan cepat dengan posisi dan supinasi.

Ø Status Motorik

Diobservasi bentuk otot pasien apakah ada perubahan bentuk otot normal, membesar/hipertrofi mengecil/hipotrofi. Dinilai semua otot tubuh klien.

Tonus otot : diperiksa dengan cara pasien berbaring rileks, perhatiannya dialihkan dengan mengajak klien bicara sambil pemeriksa mngengkat lengan klien dalam posisi fleksi pada siku dan tangan secara pasif, kemudian menjauhkan lengan tersebut. Cara jatuh lengan dinilai. Hipotoni bila anggota gerak jatuh dengan berat, atau tonus otot meninggi/hipertoni/spatik. Pemeriksaan ini dilakukan juga pada tungkai dengan mengangkat tungkai fleksi pada tanggal kemudian dijatuhkan.

Kekuatan otot : Untuk memeriksa kekuatan otot sebaiknya dilakukan satu arah pada sendi dan otot langsung dinilai.

Kekuatan otot dinilai dengan derajat :

Derajat 5 : Kekuatan normal

Seluruh gerakan dapat dilakukan otot tersebut dengan tahan maksimal dari pemeriksa yang dilakukan berulang-ulang tanpa terlihat kelelahan.

Derajat 4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan melayang gaya berat dan juga melawan tahanan ringan dan sedang dari pemeriksa.

Derajat 3 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan melawan gaya berat, tetapi tidak tidak dapat melawan tahanan ringan dan sedang dari pemeriksa.

Derajat 2 : Otot hanya dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan.

Derajat 1 : Kontraksi otot minimal dapat terasa atau teraba pada otot bersangkutan tanpa mengakibatkan gerak

Derajat 0 : Tidak ada kontraksi sama sekali. Parlise total

Kekuatan gerak yang diperiksa : keempat anggota gerak

a. Anggota gerak atas : artikulasi humeri, artikulasi kubiti, artikulasimanus dan artikulasi metakarpoflank.

b. Anggota gerak bawah : artkulasi kokse, artikulasi genus, artikulasi manus dan artikulasi metaka pofalank.

Gaya berjalan : diobservasi dengan menyuruh pasien berjalan mondar- mandir.

Langkah normal : pasien berjalan dengan gaya biasa orang sehat.

Langkah : pasien berjalan dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi supaya jari kaki yang masih tertinggal menyentuh tanah dapat terangkat. Kemudian kaki seolah-olah dijatuhkan ketanah dengan jari lebih dulu menyentuh tanah sebelum tumit.

Langkah mabuk : pasien berjalan dengan kedua kakinya terpisah jauh dan waktu, harus berjalan lurus ada kecenderungan terhuyung kesatu sisi.

Langkah menggeser : Pasien berjalan dengan langkah pendek-pendek, menyeret tanah hampir-hampir kaki tidak terlepas dari tanah. Bila langkah makin pendek dan cepat pasien cenderung jatuh.

Langkah spastik : biasanya terjadi pada hemipare, pasien berjalan dengan tungkai yang parase dilempar keluar membentuk lingkaran dengan jari kaki tetap menyentuh tanah.

Gerakan tubuh : diobservasi apakah normal, tremor/gematar, spasme (adanya ketegangan otot sehingga gerakan terbatas) atau gerakan tubuh berulang tanpa kendali.

Ø Refleks

Refleks merupakan jawaban motorik dari rangsangan sensorik.

Nilai refleks :

1. Arefleksi merupakan jawaban motorik dari rangsangan sensorik.

2. Hiporefleksi berarti ada kontraksi otot tetapi tidak terjadi gerakan pada sendinya, refleks = +

3. Refleksi normal = +

4. Hiperefleksi bila kontaksi dan gerakan sendi berlebihan, refleks = + +

1. Refleks Tendon

a. Refleksi biseps

Dalam keadaan duduk : lengan bawah dalam pronasi rileks di atas paha

Dalam keadaan berbaring : lengan ditaruh di atas bantal, lengan bawah dan tangan di atas abdomen. Taruh ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, tekan bila perlu untuk meyakinkan regang otot optimal, sebelum mengetok.

b. Refleks brakioradialis

Posisi sama dengan refleks biseps. Kecuali lengan bawah harus berada antara pronasi dan supinasi. Ketok dengan sambil mengamati dan merasakan adanya kontraksi.

c. Refleks triceps

Posisi hampir sama dengan refleks biseps. Oleh karena tendon pendek, kadang-kadang sukar mengetok sejumlah seribu : sekaligus. Sebaiknya pemeriksa melakukan dari arah samping belakang pasien untuk memeriksa kontraksi. Ketokan dilakukan 5 cm di atas siku.

d. Refleks Lutut / Patela

Dalam posisi duduk : kaki tergantung dan rileks.

Dalam posisi berbaring : tangan atau lengan bawah pemeriksa ditaruh. Di bawah lutut pasien, refleksi sendi lutut kira-kira 20 derajat, sedangkan tumit pasien harus tetap berada di atas tempat tidur. Bila perlu tangan pemeriksa diganti bantal supaya kontraksi otot disamping terlihat dapat diraba pula.

Palu refleks diketokan di atas tendon lutut berganti-ganti kanan dan kiri.

e. Refleks archilles

Dalam posisi duduk : sama dengan posisi refleks biseps, kaki dorsoflrkdi optimal untuk mendapatkan regangan otot cukup.

Dalam posisi berbaring : dilakukan fleksi panggul dan lutut sambil sedikit rotasi paha keluar ketok tendon tumit/archilles dengan palu refleks.

Respon refleks tendon normal :

Refleks biseps : respon normal berupa fkleksi dari siku dan tampak kontraksi otot biseps

Refleks triseps : ekstensi dari siku dan tampak kontraksi otot triseps

Refleks lutut : gerakan dari tungkai disertai kontraksi otot gastrokmius.

2. Refleks patologik

a. Refleks Babinski

Dengan sebuah benda yang berujung agak tajam, telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari. Positif bila terjadi dari ibu jari dan biasnya disertai dengan pemekaran jari-jari kaki.

b. Refleks Chaddok

Tanda babinski timbul dengan menggoreskan bagian bawah dari maleous lateral kearah depan.

c. Reflek Oppenheim

Dengan mengurut tulang tibia dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah mulai dari lutut tengah mulai dari lutut menyusur ke bawah. Positif bila timbul tanda babinski.

d. Refleks Gordon

Otot gastrokmius/betis ditekan. Positif bila timbul tanda babinski.

Ø Fungsi Luhur

a. Kesadaran

Coma : keadaan tidak sadar yang terendah. Tidak ada respon terhadap rangsangan nyeri, refleks tendon, refleks pupil dan refleks batuk menghilang, inkontinensia urin dan tidak ada aktivitas motorik spontan.

Soporocoma : keadaan tidak sadar menyerupai koma, tetapi respon terhadap rangsangan nyeri masih ada,refleks tendon dapat ditimbulkan. Biasanya masih ada inkontinensia urin dan

belum ada gerakan motorik spontan.

Delirium : keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak,

berteriak-teriak dan tidak sadar terhadap orang lain,

tempat dan waktu.

Somnolen/letargi : pasien dapat dibangunkan dengan rangsangan dan akan membuat respon motorik dan verbal yang layak. Pasien akan cepat tertidur lagi bila rangsangan dihentikan.

Apatis : pasien tampak segan berhubungan dengan sekitarnya, tampak acuh tak acuh.

Compos Mentis : sadar sepenuhnya, dapat menjawab pertanyaan tentang

keadaan sekelilingnya.

Selain cara seperti tersebut diatas, dapat juga digunakan GCS (Glasgow Coma Scale), yang dinilai yaitu :

- Eye/membuka mata (E) :

4 = dapat membuka mata spontan

3 = membuka mata dengan dipanggil/atas perintah

2 = membuka mata bila dirangsang nyeri

1 = selalu tertutup walaupun dirangsang nyeri

- Motorik (M) :

6 = dapat bergerak sesuai perintah

5 = dapat bereaksi menyingkirkan rangsangan nyeri/reaksi setempat

4 = bereaksi fleksi siku pada rangsangan nyeri/menghindar

3 = dengan rangsangan nyeri dapat bereaksi fleksi pada pergelangan tangan atau jari atau fleksi spastic pada tungkai atau abduksi lengan atas/fleksi

abnormal

2 = respon ekstensi

1 = tidak bereaksi

- Verbal/bicara (V) :

5 = orientasi baik : orang, tempat, waktu

4 = jawaban kacau

3 = kata-kata tak berarti

2= suara tidak komprehensif

1 = tidak ada suara

b. Reaksi emosi

Dinilai apakah pasien tampak tegang, depresi, cemas, rasa bermusuhan atau emosi uang tidak terkontrol.

c. Fungsi intelektual

Memori : pasien dapat mengingat kembali pengalaman yang dialami

Berhitung : pasien dapat melakukan berhitung pertambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

Persamaan : pasien diminta menjelaskan persamaan benda/keaadaan, misal raja dengan kaisar atau presiden

Pendapat : diminta pendapat pasien tentang beberapa pasien tentang beberapa persoalan yang ada di lingkungannya.

Pengertian : pasien disuruh membaca suatu serita kemudian dapat menjelaskan kembali isi cerita tersebut.

d. Proses pikir

Proses pikir ini dinilai dari jawaban-jawaban pasien dari pertanyaan pemeriksa tentang hal-hal di atas. Kemudian disimpulkan apakah isi pikiran pasien masih baik, kurang atau kelainan.

e. Fungsi psikomotor

Pasien dapat melakukan perintah dengan baik tau terganggu/menurun.

f. Fungsi ekspresif

Yang dinilai adalah : pasien mampu mengulang kata, kalimat dengan baik, mampu mengucapkan nama hari, bulan, nama benda, gambar dan dapat memahami hubungan pengertian dan perkataan missal : ditanyakan ‘dengan apa kita makan nasi’ dan jawaban pasien yang diharapkan adalah ‘kita makan nasi dengan sendok garpu’

g. Kemampuan baca tulis

Pasien mampu membaca dalam hati dan menuliskan kembali apa yang telah dibacanya. Pasien mampu membaca dengan suara keras dan menerang arti kalimat, pasien mampu menyalin kata dan kalimat yang diminta pemeriksa, dapat menulis identitasnya dan melakukan dikte.

Derajat afasia

Derajat 0 : afasia global yaitu pasien tidak dapat bicara ataupun mengerti pembicaraan sama sekali.

Derajat 1 : pembicaraan mengenai soal yang mudah dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksa.

Derajat 2 : pembicaraan mengenai soal yang mudah dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksa

Derajat 3 : pasien dapat membicarakan persoalan sehari-hari dengan sedikit/tanpa bantuan pemeriksa.

Derajat 4 : pasien tampak sukar dalam berbicara tetapi tidak mempengaruhi isi dan pikiran yang dikemukakan.

Derajat 5 : kesukaran bicara tidak tampak nyata, tetapi subyektif pasien mengalami kesukaran.
 

SOP Pemasangan Kateter Pria



PEMASANGAN KATETER PRIA



STANDARD OPERSIONAL PROSEDUR


PENGERTIAN Memasukkan selang karet atau plastic melalui uretra dan kedalam kandung kemih
TUJUAN
  1. Menghilangkan distensi kandung kemih
  2. Penatalaksanaan kandung kemih inkopeten
  3. Mendapatkan urine steril
  4. Mengosongkan kandung kemih secara lengkap
KEBIJAKAN
  1. Kandung kemih inkopeten
  2. Prostat hipertrofi
PETUGAS Perawat
PERALATAN
  1. Bak instrument steril berisis: pinset anatomis, duk, kassa
  2. Kateter sesuai ukuran
  3. Sarung tangan steril 2 pasang
  4. Desinfektan dalam tempatnya
  5. Spuit 20 cc
  6. Pelumas
  7. Urine bag
  8. Plaster dan gunting
  9. Selimut mandi
  10. Perlak dan pengalas
  11. Bak berisis air hangat, waslap, sabun, handuk
  12. Bengkok
PROSEDUR PELAKSANAAN
  1. Tahap PraInteraksi
    1. Melakukan pengecekan program terapi
    2. Mencuci tangan
    3. Menempatkan alat di dekat pasien
  2. Tahap Orientasi
    1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
    2. Menjelaskan tujuan  dan prosedur pelaksanaan
    3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
  3. Tahap Kerja
    1. Memasang sampiran dan menjaga privacy
    2. Mengatur posisi pasien dalam posisi dorcal recumbanent  dan melepaskan pakaian bawah
    3. Memasang perlak, pengalas dan selimut mandi
    4. Memakai sarung tangan
    5. Membersihkan genetalia dengan air hangat
    6. Mengganti sarung tangan steril, memasang duk steril
    7. Memberi pelumas pada ujung kateter
    8. Mengarahkan penis ke atas
    9. Memasukkan kateter perlahan-lahan sedalam 15 – 23 cm atau hingga urine keluar
    10. Menyambungkan kateter dengan urine bag
    11. Mengisis balon dengan Aquadest sesuai ukuran
    12. Memfiksasi kateter kearah atas / perut
    13. Melepas duk, pengalas dan sarung tangan
    14. Mengganti selimut mandi dengan selimut klien
  4. Tahap Terminasi
    1. Melakukan evaluasi tindakan
    2. Merapikan pasien dan lingkungan
    3. Berpamitan dengan klien
    4. Membereskan alat-alat dan kembalikan alat ketempat semula
    5. Mencuci tangan
    6. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

PENILAIAN PENCAPAIAN KOMPETENSI ASPEK KETRAMPILAN
PEMASANGAN KATETER PRIA

No
ASPEK YANG DINILAI
BOBOT
NILAI
0
1
2
A
ALAT




1
Bak instrument steril berisis:
1



2
Pinset anatomis
0,5



3
Duk
0,5



4
Kassa
0,5



5
Kateter sesuai ukuran
0,5



6
Sarung tangan steril 2 pasang
1



7
Desinfektan dalam tempatnya
0,5



8
Spuit 20 cc
0,5



9
Pelumas
1



10
Urine bag
0,5



11
Plaster dan gunting
1



12
Selimut mandi
0,5



13
Perlak dan pengalas
0,5



14
Bak berisis air hangat, waslap, sabun, handuk
1



15
Bengkok
0,5



B
Tahap Pra Interaksi




1
Melakukan Verifikasi data sebelumnya bila ada
1



2
Mencuci tangan
1



3
Membawa alat di dekat pasien dengan benar
2



C
Tahap Orientasi




1
Memberikan salam dan menyapa nama pasien
1



2
Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
2



3
Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
1



D
Tahap kerja




1
Memasang sampiran dan menjaga privacy
1



2
Mengatur posisi pasien dalam posisi dorcal recumbent dan melepaskan pakaian bawah
2



3
Memasang perlak dan pengalas
1



4
Memakai sarung tangan
2



5
Membersihkan genetalia dengan air hangat
2



6
Mengganti sarung tangan steril dan memasang duk steril
2



7
Memberi pelumas pada ujung kateter
3



8
Mengarahkan penis keatas
3



9
Memasukkan kateter perlahan-lahan sedalam 15 – 23 cm atau hingga urine keluar
4



10
Menyambungkan kateter dengan urine bag
1



11
Mengisis balon dengan aquadest sesuai ukuran
3



12
Memfiksasi kateter kearah atas / perut
2



13
Melepas duk, pengalas dan sarung tangan
1



E
Tahap Terminasi




1
Melakukan evaluasi hasil tindakan
1



2
Berpamitan dengan pasien
1



3
Merapikan  alat dan mengembalikan ke tempat semula
1



4
Mencuci tangan
1



5
Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
1




TOTAL
50

SOP Pemasangan Kateter Wanita


PEMASANGAN KATETER WANITA



STANDARD OPERSIONAL PROSEDUR


PENGERTIAN Memasukkan selang karet atau plastic melalui uretra dan kedalam kandung kemih pada wanita
TUJUAN
  1. Menghilangkan distensi kandung kemih
  2. Mengosongkan kandung kemih secara lengkap
KEBIJAKAN
  1. Retensi urine
  2. Kesadaran menurun
  3. Incontinencia urine total
PETUGAS Perawat
PERALATAN
  1. Bak instrument steril berisis:
  2. Pinset anatomis
  3. Duk
  4. Kassa
  5. Kateter sesuai ukuran
  6. Sarung tangan steril 2 pasang
  7. Desinfektan dalam tempatnya
  8. Spuit 20 cc
  9. Pelumas
  10. Urine bag
  11. Plaster dan gunting
  12. Selimut mandi
  13. Perlak dan pengalas
  14. Bak berisis air hangat, waslap, sabun, handuk
  15. Bengkok
  16. Pispot
PROSEDUR PELAKSANAAN
  1. Tahap PraInteraksi
    1. Melakukan pengecekan program terapi
    2. Mencuci tangan
    3. Menyiapkan alat
  2. Tahap Orientasi
    1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
    2. Menjelaskan tujuan  dan prosedur pelaksanaan
    3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
  3. Tahap Kerja
    1. Memasang sampiran dan menjaga privacy
    2. Mengatur posisi pasien dalam posisi dorcal recumbanent  dan melepaskan pakaian bawah
    3. Memasang perlak dan pengalas
    4. Memasang pispot dibawah bokong pasien
    5. Memakai sarung tangan
    6. Mencuci area perineal dengan sabun dan air hangat
    7. Mengganti sarung tangan steril, memasang duk steril
    8. Membersihkan vulva dengan air hangat
    9. Memberi pelumas 2,5 – 5 cm
    10. Memasukkan kateter perlahan-lahan sedalam 5 – 7,5 cm atau hingga urine keluar
    11. Menyambungkan kateter dengan urine bag
    12. Mengisis balon dengan Aquadest sesuai ukuran
    13. Memfiksasi kateter kearah paha
    14. Melepas duk, pengalas dan sarung tangan
  4. Tahap Terminasi
    1. Melakukan evaluasi tindakan yang baru dilakukan
    2. Merapikan pasien dan lingkungan
    3. Berpamitan dengan klien
    4. Membereskan alat-alat dan kembalikan alat ketempat semula
    5. Mencuci tangan
    6. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

PENILAIAN PENCAPAIAN KOMPETENSI ASPEK KETRAMPILAN
PEMASANGAN KATETER WANITA
No
ASPEK YANG DINILAI
BOBOT
NILAI
0
1
2
A
ALAT




1
Bak instrument steril berisis:
1



2
Pinset anatomis
0,5



3
Duk
0,5



4
Kassa
0,5



5
Kateter sesuai ukuran
0,5



6
Sarung tangan steril 2 pasang
1



7
Desinfektan dalam tempatnya
0,5



8
Spuit 20 cc
0,5



9
Pelumas
0,5



10
Urine bag
0,5



11
Plaster dan gunting
1



12
Selimut mandi
0,5



13
Perlak dan pengalas
0,5



14
Bak berisis air hangat, waslap, sabun, handuk
1



15
Bengkok
0,5



16
Pispot
0,5



B
Tahap Pra Interaksi




1
Melakukan Verifikasi data sebelumnya bila ada
1



2
Mencuci tangan
1



3
Membawa alat di dekat pasien dengan benar
2



C
Tahap Orientasi




1
Memberikan salam dan menyapa nama pasien
1



2
Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
2



3
Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
1



D
Tahap kerja




1
Memasang sampiran dan menjaga privacy
1



2
Mengatur posisi pasien dalam posisi dorcal recumbent dan melepaskan pakaian bawah
1



3
Memasang perlak dan pengalas
1



4
Memasang pispot dibawah bokong pasien
1



5
Memakai sarung tangan
2



6
Mencuci area perineal dengan sabun dan air hangat
2



7
Mengganti sarung tangan steril dan memasang duk steril
2



8
Membersihkan vulva dengan air hangat
3



9
Memberi pelumas 2,5 – 5 cm
3



10
Memasukkan kateter perlahan-lahan sedalam 5 – 7,5 cm atau hingga urine keluar
4



11
Menyambungkan kateter dengan urine bag
1



12
Mengisis balon dengan aquadest sesuai ukuran
1



13
Memfiksasi kateter kearah paha
2



14
Melepas duk, pengalas dan sarung tangan
2



E
Tahap Terminasi




1
Melakukan evaluasi hasil tindakan
1



2
Berpamitan dengan pasien
1



3
Merapikan  alat dan mengembalikan ke tempat semula
1



4
Mencuci tangan
1



5
Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
1




TOTAL
50

Selasa, 26 Maret 2013

Ilmu y4ng  memb4h4s berb4g4ai m4s4l4ah dg menggun4k4n berb4g4i 4rgument4si & fils4f4t (ilmu yg membehes tentang ketuhanan)

Rabu, 20 Maret 2013

I/II Kekuatan Otot

Kekuatan Otot
Yaitu kontraksi maksimal yang dihasilkan oleh otot, merupakan suatu kemampuan untuk membangkitkan tegangan terhadap suatu tahanan. Kekuatan otot penting untuk meningkatkan kondisi fisik secara keseluruhan. Kekuatan otot dipengaruhi oleh: usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, suhu otot (Depkes, 1996).
Untuk memeriksa kekuatan otot ada 2 cara :
1.      Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksaan menahan gerakan ini.
2.      Pemeriksaan menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan.

No
Nilai Kekuatan Otot
Keterangan
1
0 (0%)
Paralisis, tdk ada kntrksi otot sm skli
2
1 (10%)
Terlht atau teraba getaran kontraksi otot ttp tdk ada gerak sm skl
3
2 (25%)
Dpt menggerakkn anggota gerak tanpa gravitasi
4
3 (50%)
Dpt menggerakkn anggota gerak untuk menahan berat (gravitasi)
5
4 (75%)
Dpt menggerakkn sendi dg aktif dan melawan tahanan
6
5 (100%)
Kekuatan normal

Mmengukur/menilai kekuatan otot pasien dengan memakai skala klasik 0,1,2,3,4,5. antara lain;
Skala 0.
artinya otot tak mampu bergerak/lumpuh total, misalnya jika tapak tangan dan jari mempunyai skala 0 berarti tapak tangan dan jari tetap saja ditempat walau sudah diperintahkan untuk bergerak.
Skala 1.
Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
Skala 2,
dapat mengerakkan otot atau bagian yang lemah sesuai perintah misalnya tapak tangan disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika ditahan sedikit saja sudah tak mampu bergerak
Skala 3,
dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal misalnya dapat menggerakkan tapak tangan dan jari
Skala4,
Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan.
Skala 5,
bebeas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal (normal).

Skala diatas pada umumnya dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi perburukan pada seseorang penderita.
Menjabat tangan pasien dapat juga di gunakan untuk mengukur kekuatan ototnya, dengan cara mengajak berjabat tangan dan menganjurkan pasien untuk mengerahkan tenaga memencet jari-jari kita. Kalau lemah akan terasa tangan pasien tak mampu meremas kuat tangan kita. Kesulitannya adalah kalau pasien cewek yang tak pernah menggunakan tenaga otot jari tangan, remasannya terasa kurang kuat walaupun sudah dipaksakan untuk itu dapat diperiksa lebih jauh dengan hati-hati.

I/II Pengkajian Kekuatan Otot



DAFTAR NILAI KEKUATAN OTOT

Kekuatan otot dinilai dengan angka 0 (nol) sampai 5 (lima) :


SKALA KETERANGAN

0 = Otot sama sekali tidak mampu bergerak, tampak berkontraksi, bila lengan/ tungaki dilepaskan, akan jatuh 100% pasif.
1 = Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh.
2 = Mampu menahan tegak yang berarti mampu menahan gaya gravitasi (saja), tapi dengan sentuhan akan jatuh.
3 = Mampu menahan tegak walaupun sedikit didorong tetapi tidak mampu melawan tekan/ dorongan dari pemeriksa.
4 = Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain.
5 = Kekuatan utuh.

Uji kekuatan otot sekali-kali bukan membandingkan kekuatan pasien dengan si pemeriksa (Augustinus, 2003 ; 36).